3 Fakta Pengemplang Pajak Bisa Makin Banyak Gara-gara Tax Amnesty Ada Lagi

12 October 2021

Tim detikcom – detikFinance
Senin, 11 Okt 2021

Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengizinkan program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II yang saat ini diberi nama pengungkapan sukarela. Kesempatan kedua ini berlaku mulai 1 Januari 2022 sampai 30 Juni 2022.
Kebijakan ini dinilai bisa menurunkan kredibilitas pemerintah karena tidak sejalan dengan perkataan Jokowi pada 2016 lalu. Saat itu, orang nomor satu tersebut bilang tax amnesty tidak akan terulang lagi.

“Kesempatan ini tidak akan terulang lagi. Jadi tax amnesty adalah kesempatan yang tidak akan terulang lagi. Ini yang terakhir. Yang mau gunakan silakan, yang tidak maka hati-hati,” ujar Jokowi dalam pencanangan kebijakan tax amnesty di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, 1 Juli 2016.

Berikut tiga faktanya:
1. Pengemplang Pajak Malah Diampuni
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan kebijakan tax amnesty jilid II adalah bukti turunnya kredibilitas pemerintah. Seharusnya tidak boleh ada kesempatan kedua bagi pengemplang pajak dengan tujuan apapun, termasuk untuk menaikkan pemasukan negara dari pajak.

“Pengemplang pajak yang jelas-jelas tidak patuh pada tax amnesty jilid I harusnya dihukum sesuai aturan, bukan kemudian diampuni pada tax amnesty jilid II,” kata Piter saat dihubungi, Senin (11/10/2021).

2. Pengemplang Pajak Bisa Semakin Banyak
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira mengatakan tax amnesty jilid II merupakan langkah mundur dalam peningkatan kepatuhan pajak. Ini bisa membuat pengemplang pajak semakin banyak dan menyepelekan karena menganggap kebijakan ini bisa dilakukan berkali-kali.
“Ada penurunan kepercayaan terhadap pemerintah karena tax amnesty ternyata berulang lagi, tidak sesuai dengan komitmen tax amnesty di 2016 lalu bahwa setelahnya adalah rezim penegakan hukum perpajakan. Banyak yang berasumsi kalau ada tax amnesty jilid II, kenapa tidak mungkin ada tax amnesty jilid III? Akibatnya tax amnesty akan dijadikan peluang bagi pengemplang pajak,” kata Bhima.

3. Aturannya Lemah
Kebijakan tax amnesty jilid II dinilai lemah karena tidak menjelaskan mekanisme screening harta para wajib pajak yang ikut, misalnya melalui penugasan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

“Selama tidak ada screening dan pengawasan, bisa saja harta yang dilaporkan adalah harta hasil money laundry (pencucian uang), hasil kejahatan, atau aset hasil penghindaran pajak lintas negara. Justru tax amnesty jilid II memberi ruang bagi kejahatan finansial antar negara. Merasa dapat pengampunan, maka tidak perlu ada konsekuensi hukumnya,” tuturnya.

Berdasarkan evaluasi, Bhima mengungkap bahwa tidak ada korelasi antara pengampunan pajak terhadap kenaikan rasio pajak jangka panjang, melainkan hanya temporer.

“Dampak terhadap ekonomi yang perlu diperhatikan adalah crowding out effect. Deposan akan pindahkan dana dari bank untuk bayar tebusan tax amnesty, padahal bank perlu likuiditas untuk dorong pertumbuhan kredit. Akibatnya bank bisa tawarkan bunga lebih mahal. Ini harus jadi perhatian serius,” terangnya.