Akibat Renegoisasi Kontrak, RI Kehilangan Pajak Freeport Rp 1,8 Triliun

19 September 2019

Kontan, Kamis, 19 September 2019 | 08:01 WIB

 

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Audit Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun anggaran 2018, masih menemukan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan aturan perpajakan oleh Kementerian Keuangan (Kemkeu).

Tak tanggung-tanggung, hal itu berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga Rp 2,72 triliun.

Sesuai Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I- 2019 terdapat empat lima hal penyimpangan aturan perpajakan.

Penyimpangan yang paling besar adalah dalam pelaksanaan nota kesepahaman antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Freeport Indonesia (FI).

Terakhir, nota kesepahaman itu terjadi pada tahun 2015 terkait renegosiasi perpanjangan kontrak Freeport.

Menurut BPK, renegosiasi itu bertentangan dengan tarif bea keluar yang ditetapkan oleh Kemkeu.

Walhasil, terdapat potensi restitusi atas ekspor konsentrat tembaga Freeport sebesar Rp 1,82 triliun.

Penyimpangan terbesar kedua adalah status dan tanggal daluwarsa penagihan atas ketetapan pajak sebesar Rp 408,50 miliar tidak dapat diyakini kebenarannya.

Menanggapi temuan audit BPK ini, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama memastikan pihaknya akan menindaklanjuti temuan sesuai ketentuan.

Salah satunya dengan melakukan perbaikan terkait ketetapan pajak.

Ditjen Pajak akan mengintegrasikan keseluruhan proses bisnis.

Mulai dari pendaftaran, pelaporan, pemeriksaan termasuk penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak dalam sistem informasi.

Ditjen Pajak berharap hal tersebut dapat mengurangi potensi kesalahan-kesalahan yang ditemukan lewat audit BPK.

Alhasil, sejumlah upaya Ditjen Pajak dapat mengembalikan lagi potensi penerimaan pajak yang hilang.

“Sepanjang dimungkinkan dengan ketentuan perpajakan yang ada,” kata Hestu, Rabu (18/9).

Pakar Perpajakan dari Universitas Pelita Harapan, Ronny Boko berpendapat, temuan BPK tersebut bukan terkait potential lost.

“Ini masalah administrasi saja, sehingga Ditjen Pajak hanya perlu melanjutkan tugasnya sesuai aturan yang berlaku,” terang Ronny.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (Cita) Yustinus Prastowomenyarankan Ditjen Pajak harus menindaklanjuti audit BPK dengan pemeriksaan administratif.

“Tertib administrasi dan perkuat pengawasan,” saran Yustinus.

Lalu, untuk menghindari kesalahan serupa, Ditjen Pajak harus mulai mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi (TI).

Lewat sistem teknologi informasi yang menyediakan dukungan terpadu, kesalahan administrasi bisa diminimalkan.