Asosiasi e-Commerce Khawatirkan Aturan Pajak di UU Ciptaker

25 February 2021

CNN Indonesia | Rabu, 24/02/2021

Jakarta, CNN Indonesia —

Asosiasi e-Commerce Indonesia (IdEA) khawatir penerapan UU Cipta Kerja bidang perpajakan akan menurunkan transaksi jual beli di platform digital. Pasalnya, regulasi tersebut memerlukan penerapan prinsip electronic Know Your Customer (KYC) baru dengan NIK pembeli.

Ketua Umum IdEA Bima Laga mengatakan atas kekhawatiran itu pihaknya sudah menyampaikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah. Dalam rekomendasi itu, pihaknya minta pemerintah menyesuaikan aturan perpajakan sesuai dengan aspirasi pelaku industri.

“Untuk Undang-Undang Cipta Kerja bidang perpajakan kami minta menyesuaikan peraturan sesuai dengan aspirasi pelaku industri,” ucapnya dalam acara Digital Regulatory Outlook 2021, Rabu (24/2).

 

Selain penerapan KYC, IdEA juga menyampaikan rekomendasi kebijakan terkait adanya pengecualian terhadap dokumen syarat dan ketentuan di platform digital dari salah satu bentuk dokumen yang menjadi objek dan terutang meterai.

Pasalnya pemberlakuan meterai elektronik membutuhkan waktu untuk pengembangan aplikasi dan sosialisasi kepada konsumen.

“Kami rekomendasikan masa peralihan satu tahun sejak penerbitan aturan turunan UU Bea Meterai terkait meterai elektronik,” ujar Bima.

Kemudian, IdEA juga memberikan rekomendasi terkait kewajiban kepemilikan perizinan berusaha untuk UKM digital di platform e-commerce seperti diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

“Rekomendasi dari kami, UMKM yang paling terdampak ketentuan ini membutuhkan kemudahan secara digital maka perlu ada penyesuaian Peraturan Pemerintah 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik,” tuturnya.

Masukan lain diberikan terkait dengan adanya Omnibus Law UU Cipta Kerja yang mengubah pendekatan perizinan menjadi berbasis risiko.

“Seharusnya dengan ini izin UMKM juga bisa dievaluasi kembali,” tuturnya.

Di samping itu, IdEA juga memberikan masukan terkait Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat.

Dalam beleid tersebut terdapat ketentuan bahwa penurunan konten hanya memiliki batas waktu satu hari sejak permintaan diterima dan 4 jam jika dalam keadaan mendesak. Hal ini, tutur Bima, memberatkan sebab pelaku e-commerce biasanya memiliki sumber daya dan kapabilitas yang terbatas.

“Kami merekomendasikan kembali penyesuaian batas waktu pemutusan akses sebagaimana diatur dalam SE Nomor 5 Tahun 2015,” jelas Bima.

Rekomendasi juga diberikan terkait dengan pemberian akses data dalam rangka penegakan hukum dalam peraturan menteri tersebut. Menurut IdEA diperlukan rambu-rambu agar hak akses terhadap data bisa menjaga akuntabilitas serta memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha.

“Rambu-rambu ini bisa dilakukan dengan adanya approval dari lembaga independen yang diamanatkan dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi,” pungkasnya.

(hrf/agt)