Belanja Perpajakan, Hidden Subsidy Tanggulangi Dampak Pandemi

22 November 2021

OPINI – Yanuar Wahyu Widianto, CNBC Indonesia

 

20 November 2021

Tren pandemi yang belum menunjukkan tanda akan segera berakhir memaksa belanja pemerintah dalam RAPBN 2022 masih diprioritaskan untuk menangani Covid-19. Hal yang cukup menarik dalam konsep belanja pemerintah bahwa belanja tersebut tidak hanya berbentuk belanja langsung namun juga belanja perpajakan. Apa itu belanja perpajakan dan bagaimana belanja perpajakan dapat membantu penanggulangan dampak pandemi?

Belanja perpajakan atau yang lebih dikenal dengan istilah tax expenditure merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pajak di suatu negara. Belanja perpajakan berbeda dengan subsidi yang sering dikenal masyarakat, belanja perpajakan sering disebut hidden subsidy karena jarang diketahui masyarakat. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, subsidi dapat diartikan bantuan tunai dan sebagainya yang diberikan pemerintah kepada masyarakat. Sedangkan belanja perpajakan (hidden subsidy) dapat diartikan secara sederhana sebagai insentif yang diberikan pemerintah kepada subjek pajak melalui kebijakan perpajakan.

Secara sederhana belanja perpajakan dapat dipahami sebagai insentif yang diberikan pemerintah melalui kebijakan perpajakan. Pemerintah Indonesia pertama kali mendefinisikan belanja perpajakan pada tahun 2018. Dalam Laporan Belanja Perpajakan Tahun 2016-2017, secara umum belanja perpajakan didefinisikan sebagai penerimaan perpajakan yang hilang atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system) yang diberlakukan kepada hanya sebagian subjek dan objek pajak dengan persyaratan tertentu. Adapun tujuan belanja perpajakan antara lain untuk mendukung dunia bisnis, meningkatkan iklim investasi, mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pada tahun 2020, belanja perpajakan turut digunakan pemerintah untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19 yang menyasar berbagai aspek kehidupan. Pemerintah merumuskan berbagai strategi pemulihan ekonomi, termasuk belanja perpajakan untuk memberikan insentif bagi masyarakat atau swasta yang terdampak pandemi Covid-19. Dikutip dari Nota Keuangan dan RAPBN 2022, terdapat dua belas belanja perpajakan tahun 2020 guna menanggulangi dampak pandemi Covid-19. Estimasi belanja perpajakan tersebut sebesar Rp 5,52 triliun.

Baca:

 Sri Mulyani Sentil Pajak Soal Rumitnya Prosedur & Korupsi

Belanja perpajakan tahun 2020 untuk menanggulangi pandemi dapat dibagi menjadi tiga jika dilihat berdasarkan tujuannya di mana mayoritas bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Total terdapat 10 dari 12 belanja perpajakan yang menyasar masyarakat terdampak pandemi, seperti PPh 21 DTP atas penghasilan yang diterima oleh pegawai dengan kriteria tertentu, fasilitas investment allowance untuk memproduksi alat kesehatan, sumbangan yang deductible dalam rangka Covid-19, fasilitas PPh final 0% atas tambahan penghasilan yang diterima oleh tenaga kesehatan dalam rangka penanganan Covid-19, fasilitas PPh final 0% atas penghasilan sewa tanah dan/atau bangunan yang digunakan dalam rangka penanganan Covid-19, PPN dalam negeri DTP untuk atas BKP/JKP untuk kegiatan penanganan Covid-19, bea masuk DTP atas impor barang dan bahan untuk memproduksi barang dan/atau jasa oleh industri sektor tertentu yang terdampak pandemi Covid-19, fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19, pembebasan bea masuk dan/atau cukai atas impor barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah untuk umum, amal, sosial, atau kebudayaan, dan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor pengadaan vaksin dalam rangka penanganan pandemi Covid-19.

Adapun dua belanja perpajakan lainnya yang digunakan untuk penanggulangan dampak pandemi bertujuan untuk mendukung dunia bisnis dan mengembangkan UMKM. Kedua belanja perpajakan tersebut, yaitu PPN DTP kertas koran dan atau kertas majalah dan PPh Final UMKM DTP (ditanggung oleh pemerintah). Dari tujuan belanja perpajakan ini dapat dilihat komitmen pemerintah dalam memberikan dukungan baik bagi masyarakat ataupun dunia bisnis yang terdampak oleh pandemi.

Namun begitu, peran belanja perpajakan sering dipertanyakan karena faktanya pemerintah juga telah menggelontorkan triliunan rupiah belanja langsung untuk menanggulangi dampak pandemi. Jika dicermati, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa belanja perpajakan perlu diaplikasikan pemerintah untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19 meskipun sudah terdapat belanja langsung.

Pertama, adanya skala ekonomis dan penghematan biaya dan waktu dalam aplikasi belanja perpajakan. Untuk menjalankan program belanja langsung, tentu diperlukan biaya, waktu dan segala macam administrasi dalam rangka perencanaan, implementasi, pengawasan, hingga evaluasi program. Belanja perpajakan sebagai bagian dari sistem pajak dapat menjalankan fungsi yang serupa, namun lebih mudah dan ekonomis karena menggunakan sistem administrasi pajak yang telah terbentuk. Dengan kata lain, belanja perpajakan mampu memangkas waktu pemanfaatan bantuan pemerintah sehingga masyarakat yang terdampak pandemi dapat segera mendapat bantuan dalam hal ini berbagai insentif perpajakan.

Kedua, minim penyalahgunaan. Belanja pemerintah secara langsung (misalnya bantuan lansung tunai) memerlukan tim pelaksana dari pemerintah
daerah (pemda) untuk menentukan data penduduk yang tepat untuk diberikan bantuan dan pemerintah pusat perlu melakukan verifikasi data tersebut. Belanja perpajakan dapat meminimalkan penyalahgunaan ataupun kecurangan karena ketersediaan data dalam administrasi pajak. Terakhir, belanja perpajakan dapat dijadikan justifikasi dari kemampuan masyarakat membayar pajak (ability to pay). Hal ini cukup penting karena data kemampuan membayar pajak dapat digunakan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan atau insentif yang tepat bagi masyarakat.

Menilik peran dan besarnya belanja perpajakan, masyarakat patut terus mencermati dan mengawasi belanja perpajakan yang akan dilaporkan pemerintah tiap tahunnya. Hal yang tak kalah penting adalah efektifitas dan transparansi dari belanja perpajakan. Sudah sepatutnya pula pemerintah terus berhati-hati dalam menyusun belanja perpajakan dan mengevaluasi belanja perpajakan yang kurang optimal dalam implementasinya. Belanja perpajakan yang tepat sasaran dan berdampak positif terhadap kesejahteraan diharapkan dapat mendorong pemulihan perekonomian Indonesia lebih cepat.

(miq/miq)