Biar Bisa Bangkit, Industri Otomotif Masih Perlu Diskon PPnBM?

02 December 2021

Trio Hamdani – detikFinance
Rabu, 01 Des 2021

Jakarta – Industri otomotif nasional menunjukkan indikasi pemulihan yang kuat dari pandemi. PDB sektor alat angkutan mencatatkan pertumbuhan tahunan sebesar 45,70% pada triwulan 2 dan 27,84% pada triwulan 3 2021, setelah pertumbuhan negatif 19,86% di sepanjang 2020.
Data dari GAIKINDO mencatatkan kenaikan penjualan ritel mobil secara signifikan, yaitu 600.344 unit pada periode Januari-September 2021, atau naik sekitar 50% dari periode yang sama di tahun sebelumnya, meskipun masih di bawah tingkat penjualan 2019 dan 2018.

Bukan hanya domestik, sepanjang 2021 Indonesia telah mengekspor 235 ribu kendaraan utuh (completely built up / CBU), 79 ribu kendaraan secara terurai (completely knock down / CKD), dan 72 juta unit komponen. Perkembangan ini jauh lebih baik dibandingkan penjualan industri otomotif global yang pada 2021 diperkirakan hanya naik 3,45% dari 2020.

“Meskipun demikian, geliat positif ini tidak boleh membuat pemerintah dan para pelaku usaha berpuas diri karena terdapat beberapa tantangan di depan yang perlu diantisipasi. Pertama, pada Oktober 2021 harga baja dunia telah naik sebesar 57.36% dan harga Aluminium naik 45,65% dari awal tahun. Implikasi dari hal ini tentunya pada kenaikan biaya produksi kendaraan bermotor,” kata Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha LPEM UI Mohamad Revindo dalam risetnya, dikutip Rabu (1/12/2021).

Kedua, terdapat kelangkaan chip (semikonduktor) global yang diprediksi masih akan terus berlanjut. Rantai pasok elektronik kewalahan untuk mengikuti lonjakan permintaan yang sebenarnya dipicu naiknya permintaan chip untuk perangkat komputer/laptop dan perangkat jaringan (router/modem) sejak pandem. Apalagi, produsen chip sempat dihadapkan pada pembatasan sosial sehingga tidak bisa dengan mudah meningkatkan kapasitas produksinya.

Ketiga, terjadi perubahan selera dan tren pergeseran tekonologi untuk sepenuhnya beralih ke mobil listrik. Kesadaran masyarakat global terhadap perubahan iklim semakin menuntut pergeseran tren teknologi mobil menuju kendaraan listrik.

Untuk mengantisipasi berbagai tantangan tersebut dan menjaga momentum pemulihan industri otomotif nasional, beberapa strategi dapat ditempuh. Pertama, setelah munculnya insentif fiskal diskon tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dari sisi moneter sudah tepat Bank Indonesia melakukan perpanjangan kebijakan Loan-to-Value (LTV) 100%, Down Payment 0% untuk pembiayaan kendaraan bermotor hingga akhir 2022.

Kedua, menggunakan berbagai perjanjian dagang yang telah diselesaikan (RCEP, Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-EFTA CEPA) serta presidensi Indonesia dalam G-20 untuk memperkuat posisinya dalam rantai produksi global. Perlu ditekankan pentingnya negara-negara anggota tidak hanya memikirkan kepentingan internalnya ketika menghadapi krisis, misalnya membatasi ekspor komponen otomotif atau menutup pasar dalam kondisi krisis.
Ketiga adalah dukungan terhadap industri mobil listrik nasional. Sejauh ini pemerintah memberikan dukungan terhadap ekosistem mobil listrik nasional yang tertuang dalam Perpres No. 55/2019. Meskipun demikian, pada tingkat implementasinya banyak dipandang belum optimal.

“Masih diperlukan insentif pada dua sisi. Pertama dari sisi konsumen, insentif dapat berupa diskon PPnBM yang bisa didorong hingga 0% serta subsidi bunga untuk pembiayaan kendaraan listrik. Kedua, dari sisi infrastruktur pendukung diperlukan banyak stasiun pengisian baterai listrik di berbagai SPBU sehingga mempermudah konsumen dalam mengisi ulang kendaraan listriknya,” jelasnya.