Bisnis tambang terdampak corona, IMA dan APBI akan ajukan insentif royalti dan pajak

10 May 2020

Kontan, Minggu, 10 Mei 2020 / 21:24 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pelaku usaha tambang mineral dan batubara (minerba) bakal mengajukan permintaan insentif royalti dan perpajakan kepada pemerintah. Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesia Mining Association (IMA) dan Asosiasi Pertambangan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) tengah menyusun usulan tersebut.

Pelaksana Harian Direktur Eksekutif IMA Djoko Widajatno mengatakan, usulan insentif tersebut ditujukan pada pembayaran royalti serta pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Usulan insentif tersebut dimaksudkan untuk memitigasi dampak pelemahan pasar dan harga komoditas minerba terhadap industri tambang di tanah air.

Menurut Djoko, hingga akhir Mei nanti, kinerja perusahaan dan bisnis tambang masih relatif terjaga. Hanya saja, ketika pandemi corona masih terus berlanjut, dampaknya pasti akan terasa signifikan bagi perusahaan tambang.

“(Usulan insentif) agar terjadi keberlanjutan usaha industri pertambangan. Harga pasar sangat fluktuatif, cash flow akan mengalami perlambatan akibat produksi melambat,” kata Djoko kepada Kontan.co.id, Minggu (10/5).

Sayangnya, Djoko masih belum membeberkan detail usulan insentif yang akan diajukan ke pemerintah. Yang jelas, sambungnya, usulan ini nantinya akan dibahas terlebih dulu bersama pemerintah karena menyangkut penerimaan negara. “Karena masalah penerimaan negara, IMA akan mencoba membahas bersama pemerintah, karena industri ini sangat rentan dengan Keuangan,” tambah Djoko.

Senada, Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan bahwa pihaknya pun sedang menyiapkan usulan insentif yang akan diajukan kepada pemerintah. Dari APBI, insentif yang ingin diprioritaskan menyangkut tarif royalti.

“Menghadapi kondisi seperti ini APBI sedang mengkaji usulan-usulan yang akan disampaikan ke pemerintah terkait dengan pembayaran tarif royalti agar perusahaan bisa survive,” kata Hendra.

Ia mengungkapkan, tekanan harga dan pasar rentan terhadap bisnis batubara saat ini. Pergerakan Harga Batubara Acuan (HBA) pada awal tahun ini memang anjlok cukup signifikan. Selama Kuartal I 2019, rerata HBA masih berada di level US$ 91,59 per ton, namun rerata HBA pada Kuartal I tahun ini melorot ke angka US$ 66,63 per ton.

Kendati begitu, kinerja operasional khususnya produksi batubara masih relatif stabil. Menurut Hendra, hingga saat ini belum ada anggota APBI yang melaporkan adanya penghentian operasional meski harga terus merosot.

Dalam proyeksi yang optimistis, pasar dan harga ditaksir bakal merangkak naik mulai Kuartal III dan berlanjut di Kuartal IV. Namun, proyeksi tersebut bisa saja meleset lantaran ada faktor eksternal, penanganan pandemi covid-19.

“Seperti masih ada kekhawatiran akan gelombang serangan kedua virus corona di musim dingin Q4, dan sejauh mana negara-negara importir batubara menangani penyebaran virus di negaranya,” kata Hendra.

Dengan level harga saat ini saja, Hendra menyatakan bahwa banyak perusahaan, khususnya yang memproduksi batubara kalori rendah dengan skala kecil merasakan dampak yang signifikan. Bahkan, ada yang menjual di bawah ongkos produksi sehingga mengganggu cashflow perusahaan.

Sementara dari sisi perusahaan berskala besar, sambung Hendra, para pemegang Perjanjian Kontrak Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) pun harus berupaya untuk survive dengan tarif royalti yang dikenakan sebesar 13,5%. “Jadi harus berjuang untuk bisa survive paling tidak menjaga agar PHK tidak dilakukan,” tandas Hendra.