Bukti Ekonomi RI Bocor Hingga Netflix Bisa Kabur dari Pajak

18 November 2019

CNBC Indonesia, 18 November 2019 09:49

Jakarta, CNBC Indonesia – Baru-baru ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui bahwa Netlix tidak pernah membayarkan pajaknya di Indonesia. Lantas, sampai kapan Netflix bisa kabur dari pajak?

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama mengatakan, bahwa Netflix tidak pernah bayar pajak. Bahkan tidak pernah melaporkan keuangan perusahaannya.

“Enggak [bayar pajak], karena memang selama ini mereka [Netflix] belum jadi BUT [Badan Usaha Tetap] di Indonesia. Jadi tidak menjadi wajib Pajak di Indonesia,” tutur Hestu kepada CNBC Indonesia pekan lalu.

Adapun tiga paket yang ditawarkan Netflix untuk para pelanggan di Indonesia. Mereka bebas memilih dengan membayar Rp 109.000/bulan, Rp 139.000/bulan, atau Rp 169.000/bulan.

Mengutip data Statista, Netflix memiliki 481.450 pelanggan di Indonesia pada 2019. Bahkan pelanggannya diperkirakan naik dua kali lipat pada tahun depan menjadi 906.800.

Kendati demikian, pembayaran oleh pelanggan itu mengalir deras ke anak perusahaan Netflix di Belanda, yaitu Netflix International B.V.

Dengan asumsi paling konservatif, di mana 481.450 pelanggan di Indonesia berlangganan paket paling murah, maka Netflix B.V. meraup Rp 52,48 miliar per bulan. Artinya selama setahun Indonesia sudah merugi rugi Rp 629,74 miliar, karena selama itu uangnya hanya mengalir ke Negeri Kincir Angin.

“Ya memang, istilahnya ini memang masih lolos. Masih lolos perpajakan kita. Tapi masalah ini bukan hanya masalah di Indonesia ya, tapi hampir di semua negara,” tuturnya.

Sayangnya sampai detik ini, Netflix belum juga mengirimkan klarifikasinya setelah coba dihubungi.

Pemerintah Rancang Omnibus Law Perpajakan

Kendati demikian, saat ini pemerintah tengah menggodok peraturan perpajakan berupa omnibus law. Hestu menjelaskan bahwa lewat omnibus law itu nantinya, perusahaan berbasis digital, apakah itu Youtube, Netflix, Google, dan sebagainya bakal harus membayarkan pajaknya di dalam negeri.

Hestu merinci beberapa aturan yang berlaku dalam omnibus law perpajakan tersebut. Beberapa di antaranya yakni, terkait dengan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Hal ini untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap perusahaan sejenis yang meraup keuntungan di Indonesia.

“Nah makanya yang dari [perusahaan] luar negeri itu, kita tunjuk mereka sebagai pemungut PPN juga, kita tunjuk untuk memungut PPN yang atas penjualan mereka di Indonesia. Walaupun mereka gak ada di Indonesia. Jadi mereka harus memungut PPN juga dan setor ke negara 10% PPN-nya itu,” kata Yoga melanjutkan penjelasan.

Sementara itu dari sisi PPh atau pajak penghasilan badan, dalam omnibus law itu Kemenkeu akan meredefinisikan kembali Badan Usaha Tetap (BUT). Karena selama ini, kata dia BUT identik dengan hadirnya kehadiran kantor fisik di satu negara.

Oleh karena itu, Kemenkeu merancang agar perusahaan bisa memiliki BUT, tanpa harus ada kehadiran fisiknya di Indonesia. Sehingga pada akhirnya mereka bakal wajib membayar pajaknya di dalam negeri.

“Jadi pengertiannya gak hanya harus adanya kehadiran fisik, tapi seperti subtansial economic presence. Kalau mereka dapat penghasilan dari Indonesia, konsumennya di Indonesia itu kita anggap sebagai punya economic presence di Indonesia. Nah sehingga kita masukan sebagai BUT dan bisa kita pajaki di Indonesia,” jelas Hestu.

Kendati demikian, skema bagaimana pemerintah bakal menerapkan pajak kepada perusahaan digital itu, Indonesia masih harus menunggu kesepakatan beberapa negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD).

Targetnya, akhir bulan November 2019 ini, pemerintah bisa menyerahkan rancangan undang-undang omnibus law perpajakan tersebut ke DPR dan berharap agar pembahasannya tidak alot. Sehingga aturannya bisa berlaku awal tahun depan.