Dampak Insentif PPN Properti Tidak Maksimal, Ini Usulan Developer

09 April 2021

Pemerintah telah memberikan stimulus untuk bisnis properti berupa pemangkasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, kebijakan itu dinilai belum berdampak maksimal. Oleh sebab itu, REI mengusulkan perpanjangan masa berlakunya dan perluasan jenis propertinya, bukan hanya untuk yang siap huni.

Yanita Petriella – Bisnis.com 08 April 2021

Bisnis.com, JAKARTA – Realestat Indonesia (REI) meminta pemerintah memperpanjang relaksasi insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pemberian stimulus lainnya di sektor properti.

Wakil Ketua Umum DPP REI Bambang Eka Jaya mengatakan perlu dilakukan perpanjangan relaksasi PPN sampai dengan 1–2 tahun. Dia juga berharap insentif PPN tidak hanya diberikan kepada rumah siap huni, melainkan juga untuk rumah inden.

“Selain kami berharap durasi waktunya bisa diperpanjang hingga 1–2 tahun, kami juga berharap insentif PPN tidak hanya untuk rumah ready stock, tapi juga untuk rumah inden. Developer juga tidak memiliki stok yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah masyarakat,” ujarnya dalam webinar Meneropong Pasar Properti 2021 pada Kamis (8/4/2021).

Saat ini para pengembang tidak bisa nekat membangun rumah terlebih dahulu sebelum ada pemesanan atau inden. Hal itu mengingat biaya perawatan untuk rumah siap huni cukup mahal.

“Bila ada insentif PPN untuk rumah inden, itu lebih menggairahkan industri properti yang kini melemah diterpa pandemi Covid-19,” lanjutnya.

Namun, jika properti inden tidak dapat diberikan insentif PPN ini, diharapkan properti inden dapat diberikan insentif dengan ketentuan serah terimanya 12 bulan setelah proses akta jual beli (AJB) ditandatangani.

Bambang juga mengusulkan agar konsumen dapat dibebaskan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sehingga mereka lebih berkemampuan membeli rumah atau properti baik di pasar primer maupun sekunder .

Dia mengakui bahwa BPHTB ini merupakan kebijakan daerah yang tidak otomatis mengikuti kebijakan pemerintah terkait dengan insentif. “Semestinya BPHTB juga turun.

” Selain itu, untuk properti high end juga perlu diberikan insentif. Pembelian properti lebih dari Rp10 miliar perlu diperlonggar pengawasannya dari aparat pajak agar pasar high end bisa bergerak.

“Dana kekayaan masyarakat yang belum terdaftar di SPT [Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak] dan digunakan membeli properti dikenakan denda 5 persen. Mereka jadi enggan membeli properti,” ucapnya.

Mengenai DP 0 persen, dia mengatakan lebih cocok untuk milenial. Untuk itu, program tersebut perlu modifikasi agar ada fleksibilitas pembayaran yang harus dilakukan oleh perbankan. Pastinya, kaum milenial dengan berjalannya waktu pasti memiliki pendapatan yang meningkat.

Bambang mengutarakan pula perlu ada ketersediaan kredit pemilikan rumah (KPR) yang bunganya kompetitif sesuai dengan aturan BI. “Lalu bank dapat membuka akses kredit ke semua segmen konsumen, tidak hanya mereka yang berpenghasilan tetap.

CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda juga meminta agar adanya pengurangan BPHTB menjadi maksimal 2,5 persen karena saat ini biaya BPHTB menjadii variabel paling besar dalam biaya transaksi yakni 5 persen.

“Perlu dilakukan pengurangan NJOP [nilai jual objek pajak] yang saat ini sangat tinggi karena pemda/pemprov mengejar PAD [pendapatan asli daerah],” ucapnya.

Dia memprediksi pengurangan BPHTB akan membuat pergerakan di pasar properti terutama di pasar sekunder yang sangat besar.

“Multiplier effect dari transaksi di pasar sekunder membuat penjual berhasil menjual asetnya dapat melunasi utang keperluan lain sehingga ekonomi akan berputar,” tutur Ali.