DAYA TAHAN FISKAL Menata Ulang Insentif Pajak

22 August 2022

Tegar Arief
Sabtu, 20/08/2022

Bisnis – Skema insentif perpajakan yang mengalir deras ke dunia usaha selama 3 tahun terakhir bakal didesain ulang, dalam rangka mendukung upaya pemerintah untuk melakukan konsolidasi fiskal, serta solidnya pemulihan ekonomi.

Dalam Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 pemerintah hanya akan mengucurkan insentif fiskal secara terukur dan memprioritaskan sektor yang memiliki efek berganda pada perekonomian.

Adapun, penentuan sektor usaha yang masih membutuhkan pendampingan fiskal akan diputuskan oleh pemangku kebijakan pada pengujung 2022 atau awal 2023, dengan becermin pada realisasi pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun ini.

Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Made Arya Wijaya mengatakan RAPBN 2023 memang belum mengakomodasi belanja perpajakan untuk kebutuhan insentif dunia usaha.

Dia menegaskan sejalan dengan pemulihan ekonomi yang makin solid, kebijakan-kebijakan yang terkait dengan insentif fiskal akan dievaluasi secara komprehensif. “Untuk sementara, dalam RAPBN 2023, kebijakan insentif memang belum diatur kembali,” kata Made kepada Bisnis, Jumat (19/8).

Postur anggaran 2023 memang lebih ketat, lantaran terantuk oleh tuntutan konsolidasi fiskal yang mewajibkan pemerintah untuk mengembalikan defisit di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Sejalan dengan itu, Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang salah satunya mencakup klaster stimulus fiskal bagi dunia usaha tak lagi tersedia pada tahun depan.

Made menambahkan konsolidasi fiskal tersebut juga mendasari pemerintah untuk hanya memberikan insentif secara reguler, yang disediakan sebelum pandemi Covid-19. “Kami juga melakukan evaluasi sampai akhir 2022 supaya mendapatkan gambaran penuh,” jelasnya.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan alokasi insentif perpajakan pada 2023 hanya Rp41,5 triliun. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan pagu insentif yang masuk klaster penguatan ekonomi 2022, dengan total mencapai Rp178,32 triliun.

Pemerintah pun berkaca pada kondisi ekonomi terkini dalam mendesain insentif tersebut. Apalagi, hingga paruh kedua tahun ini geliat perekonomian nasional telah menunjukkan pemulihan.

Hal itu terefleksi dari realisasi pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,44% pada kuartal II/2022 (year-on-year/YoY). Pun dengan setoran pajak yang melonjak cukup tajam.

Seluruh sektor bisnis pun telah berhasil membukukan kenaikan setoran pajak sepanjang tahun berjalan 2022 yang berakhir pada Juli lalu. Data ini mengindikasikan bahwa seluruh sektor bisnis telah sepenuhnya membaik (Lihat infografik).

Sementara itu, sumber Bisnis yang dekat dengan otoritas fiskal menjelaskan bahwa ada beberapa insentif yang tetap diberikan pada tahun depan. Salah satunya adalah fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Final usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

CUKUP ROYAL

Selama pandemi Covid-19, pemerintah memang cukup royal memberikan insentif. Di antaranya adalah diskon angsuran PPh Pasal 25 atau pajak korporasi, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, PPh Final jasa konstruksi Ditanggung Pemerintah (DTP).

Kemudian, insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mobil DTP, serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rumah DTP. Keseluruhan insentif tersebut akan berakhir pada tahun ini.

Terkait dengan desain ulang insentif ini, pelaku usaha menyadari keterbatasan ruang fiskal negara untuk terus memberikan stimulus pada tahun depan.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Mudah Indonesia (Hipmi) Anggawira mengatakan pada dasarnya pebisnis masih membutuhkan dukungan fiskal.

Akan tetapi, menurutnya, insentif yang disediakan pemerintah harus mempertimbangkan kemampuan APBN serta menyasar pada sektor-sektor usaha yang masih membutuhkan sokongan.

Sementara itu, kalangan ekonom menyarankan kepada pemerintah untuk menyiapkan improvisasi anggaran sehingga mampu memberikan proteksi bagi dunia usaha pada tahun depan.

Musababnya, tekanan ekonomi pada 2023 masih cukup tinggi, antara lain berkaitan dengan lesatan inflasi dan gangguan rantai pasok yang berisiko menghambat output manufaktur dan membengkakkan biaya produksi.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan lilitan rantai pasok global berpotensi mengatrol Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB).

Naiknya IHPB akan didistribusikan pada masyarakat sehingga bermuara pada melesatnya terkereknya Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi. “Pemerintah tetap harus berjaga-jaga, karena kalau lihat tren inflasi bisa memukul dunia usaha dari sisi biaya produksi. Ini yang perlu menjadi kewaspadaan pada 2023,” katanya.

Menurutnya, secara sektoral lini bisnis yang masih membutuhkan pendampingan fiskal pada tahun depan adalah pariwisata yang sejauh ini belum berhasil pulih dengan maksimal.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menambahkan sektor lain yang cukup rentan adalah properti perkantoran dan residensial. Selain itu, sektor pertambangan diprediksi tidak akan semoncer pada tahun ini karena proyeksi normalisasi harga komoditas energi dunia.

Editor : Yusuf Waluyo Jati