Dituding gelapkan pajak, Adaro Energy (ADRO) belum akan dipanggil BEI

10 July 2019

Kontan, Rabu, 10 Juli 2019 / 13:33 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) mengaku belum akan memanggil PT Adaro Energy Tbk (ADRO) terkait dengan tudingan penggelapan pajak.

Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, pihaknya masih akan menunggu terlebih dahulu klarifikasi dari emiten batu bara tersebut. “Untuk saat ini yang paling berhak memberikan penjelasan adalah direksi perusahaan. Jadi kami juga sedang tunggu bagaimana penjelasan dari mereka,” kata Nyoman, Rabu (10/7). Nyoman menyebut selama ini pihaknya terus melakukan monitoring baik terhadap perusahaan maupun pemberitaan yang ada di media massa.

Hingga saat ini ADRO belum memberikan keterangan lebih lanjut. Terakhir, sebagaimana dilansir pada situs keterbukaan informasi, ADRO membantah hal tersebut.

“Adaro berkomitmen untuk berkontribusi bagi pembangunan dan kemajuan ekonomi Indonesia melalui pembayaran pajak dan royalti. Tahun 2018, ADRO telah memberikan kontribusi kepada negara senilai total US$ 721 juta,” tulis Sekretaris Perusahaan ADRO Mahardika Putranto dalam keterangan tersebut, Kamis (4/7).

Sebelumnya, perusahaan yang dipimpin oleh Garibaldi Thohir, yang juga menjabat sebagai komisaris BEI, dituding oleh lembaga non-profit internasional Global Witness menggelapkan pajak selama periode 2009 hingga tahun 2017. Dalam kurun waktu tersebut, ADRO dituduh membayar pajak US$ 125 juta lebih rendah kepada pemerintah Indonesia.

Melalui entitas anak perusahaannya di Singapura yaitu Coaltrade Services International, ADRO memindahkan sejumlah besar uangnya melalui suaka pajak. “Dalam periode tersebut, pemerintah Indonesia rugi hampir US$ 14 juta setiap tahunnya,” kata Stuart McWilliam, Campaign Leader Global Witness dalam keterangan resminya, Kamis (7/4)

Temuan itu didapatkan Global Witness setelah menginvestigasi laporan keuangan Coaltrade. Mereka menemukan, bahwa nilai total komisi penjualan yang diterima Coaltrade untuk transaksi di setiap negara dengan tingkat pajak rendah seperti Singapura, telah meningkat. “Dari rata-rata tahunan US$ 4 juta sebelum 2009, meningkat menjadi 55 juta dolar AS dari tahun 2009 sampai 2017,” terang Stuart.