DPR khawatirkan rencana perubahan tarif PPnBM mobil listrik bisa jadi disinsentif

15 March 2021

Senin, 15 Maret 2021

KONTAN.CO.ID –  JAKARTA. Pemerintah berencana akan mengubah ketentuan tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil listrik. Untuk mobil listrik jenis battery electric vehicle (BEV) Pasal 36 (Ps 36) tarif PPnBM dibandrol sebesar 0%. Tujuannya, untuk menarik uang para investor mobil yang 100% menggunakan baterai tersebut.

Kendati demikian, Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menilai pemerintah perlu mengkaji ulang insentif fiskal tersebut. Menurutnya, ada tiga latarbelakang pemerintah yang patut dipertanyakan.

Pertama, perbedaan tarif PPnBM jenis-jenis mobil listrik sudah bukan menyoal emisi karbon saja seperti mobil konvensional. Tapi, dampak lingkungan yang diakibatkan oleh baterai bekas sisa mobil listrik.

“Kalau kita menggunakan argumentasi BEV, sudah bukan lagi soal emisi. Perbandingannya antara yang mengkonsumsi energi fosil dan elektrik tidak equal. Kendaraan bermotor masalahnya pengolahan dan daur ulang baterainya, harus tahu dulu bagaimana mengelola risiko ini? Jadi dasar argumentasi pemerintah sangat sulit didapatkan,” kata Misbakhun saat rapat kerja dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Senin (15/3).

Kedua, ambang batas nilai investasi yang ditetapkan sebesar Rp 5 triliun belum memerinci. Anggota fraksi Partai Golkar tersebut mengatakan pemerintah harus berani memastikan besaran investasi tersebut benar-benar berasal dari foreign direct investment (FDI). Bukan investasi yang datang dari mitra investor asing yang berada di dalam negeri.

“Kalau dikonversi ke valuta asing sekitar US$ 500 juta dollar AS, apakah sebuah kepantasan yang layak untuk melepas PPnBM-nya? pemerintah yang tau threshold ini , karena ini akan menjadi trade off nya kita tidak bisa mendapatkan suatu lebih karena adanya insentif,” ujar Misbakhun.

Ketiga, bahan baku industri mobil listrik telah berubah. Misbakhun menyampaikan teranyar Tesla Inc. telah mengkonvergensi teknologi beberapa komponen mobil listri dari yang menggunakan nikel menjadi besi.

Ini lantas akan menjadi masalah terhadap ekosistem mobil listrik dengan minat investasi. Sebab, pemerintah sebelumnya membanggakan produksi nikel dalam negeri sebagai bahan baku utama mobil listrik.

“Maka ini yang harus didalami oleh pemerintah, insentif yang berlebihan akan menjadi disinsentif bagi sektor yang lain,” kata dia.

Adapun rencana kebijakan tersebut akan memperbarui ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan ada dua skema dalam pengenaan PPnBM mobil listrik.  Skema pertama, tarif PPnBM untuk PHEV (Ps 36) sebesar 5% sebelumnya 0%, full-hybrid (Ps 26) sebesar 6% naik dari aturan lama yakni 2%, dan full-hybrid (Ps 27) sebesar 7% dari sebelumnya 5%.

Skema kedua setelah investasi berlangsung selama dua tahun dengan nilai investasi Rp 5 triliun maka tarif PPnBM untuk PHEV (Ps 36) menjadi 8%, full-hybrid (Ps 26) 10%, full-hybrid (Ps 27) 11%, full-hybrid (Ps 28) 12% sebelumnya 8%, mild-hybrid (Ps 29) 12% sebelumnya 8%, mild-hybrid (Ps 30) 13% sebelumnya 10%, dan full-hybrid (Ps 31) 14% sebelumnya 12%.

Sementara itu untuk mobil listrik jenis BEV (Ps 36) baik skema satu maupun skema dua tarif PPnBM yang dikenakan sebesar 0%, alias tidak naik.

“Skema I dan skema II tujuannya untuk menciptakan level playing field kita katakan bisa saja anda dapatkan skema kedua jika betul-betul mencapai Rp 5 triliun,” ujar Menkeu saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (15/3).