Duduk Perkara Pajak Pulsa & Token Listrik ala Sri Mulyani

01 February 2021

CNBC Indonesia

 

01 February 2021

Jakarta, CNBC Indonesia – Akhir pekan lalu kehebohan terjadi karena pajak baru yang diberlakukan Kementerian Keuangan. Hal ini mengundang konfirmasi langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Ia bahkan menjelaskan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pulsa, kartu perdana dan tidak akan berpengaruh kepada harga di tingkat konsumen. Melalui PMK 06/PMK.03/2021 penerapan PPN hanya sampai pada tingkat Distributor Besar.

 

Selama ini, kata Sri Mulyani, PPN dan PPh atas pulsa/kartu perdana, token listrik, dan voucher sudah berjalan. Jadi, tidak ada pungutan pajak baru untuk pulsa, token listrik, dan voucher.

“Ketentuan tersebut bertujuan menyederhanakan PPN dan PPh atas pulsa atau kartu perdana, token listrik, dan voucher untuk memberikan kepastian hukum,” jelas Sri Mulyani melalui akun resmi instagramnya @smindrawati, dikutip Senin (1/2/2021).

Konfirmasi juga disampaikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan yang menekankan bahwa pengenaan PPN 10% lewat aturan ini menyederhanakan pemungutan PPN. Sehingga pengenaan PPN yang mulai berlaku hari ini, Senin (1/2/2021) ini hanya akan sampai pada tingkat distributor besar.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama menjelaskan pengenaan PPN pulsa selama ini ada di hampir setiap jalur distribusi penjualan.

“Dengan ketentuan PMK 6/2020 ini mekanismenya dipangkas, jadi PPN hanya dikenakan sampai Distributor tingkat II, sehingga distributor kecil dan pengecer (counter pulsa) tidak perlu lagi memungut PPN, karena sudah diambil di depan tadi di Distributor tingkat II,” jelas Hestu kepada CNBC Indonesia.

Penjualan pulsa sebelumnya, Hestu memberi contoh, Operator Telekomunikasi menjual pulsa kepada Distributor Utama (Tingkat I) dan akan mengenakan PPN 10%, dan akan menjadi pajak masukan untuk dikreditkan oleh Distributor Utama.

Kemudian Distributor Utama menjual kepada Distributor Besar (Tingkat II) dan mengenakan PPN 10% juga, sehingga mengkreditkan pajak masukan bagi Distributor besar. Seterusnya sampai ke pengecer (counter pulsa) yang menjual ke konsumen akhir.

Nah, dengan adanya ketentuan PMK 6/2020 ini, kata Hestu mekanismenya dipangkas. Jadi PPN hanya dikenakan sampai Distributor Besar (Tingkat II). Hestu menegaskan, ini adalah kesederhanaan dalam bentuk pemungutan PPN pulsa saja.

“Jadi bukan berarti sebelumnya pulsa tidak terkena PPn dan sekarang akan terkena PPN. Sehingga karena sebelumnya juga sudah terkena PPN maka harga juga tidak akan naik dengan mekanisme baru ini,” kata Hestu melanjutkan.

Hestu menjelaskan, pada praktik di lapangan perusahaan telekomunikasi tidak menjual pulsa dengan harga nominal sesungguhnya, misal perusahaan telekomunikasi menjual pulsa 100.000, tapi mereka memberikan diskon Rp 15.000 kepada yang menjadi distributor atau pengecer.

Berdasarkan ilustrasi yang diberikan oleh Hestu, memang pengenaan PPN Pulsa 10% sesuai PMK 6/2021 tidak akan sampai dirasakan pada tingkat konsumen.

Dalam pemberian ilustrasi ini, Hestu memberikan catatan, margin Rp 5.000 tiap rantai penjual hanya sebagai contoh.

“DJP tidak mengatur margin atau harga jual, kita hanya masalah PPN yang mengikuti harga atau margin yang real terjadi,” tuturnya.

Sehingga ilustrasinya seperti ini:

Pada Penyedia Jasa Layanan Pulsa

Perusahaan telekomunikasi menjual pulsa 100.000 kepada Distributor Utama (I) dengan diskon Rp 15.000. Maka harga jualnya adalah Rp 85.000. Perusahaan telekomunikasi itu kemudian memungut PPN 10% atau sebesar Rp 8.500.

Jadi yang menjadi harga jual Perusahaan Telekomunikasi tersebut sebesar Rp 93.500 dan mereka setor PPN ke negara Rp 8.500.

Maka, Distributor I membayar kepada Perusahaan Telekomunikasi sebesar Rp 93.500 (merupakan harga pulsa Rp 85.000 + PPN Rp 8.500).

Pada Tingkat Distributor I

Distributor I menjual ke Distributor II dengan hrga beli pulsa Rp 85.000 dengan mengambil keuntungan Rp 5.000, atau sebesar Rp 90.000. Pungutan PPN 10% atau Rp 9.000.

Maka Distributor I akan menerima uang dari Distributor II Rp 90.000 + Rp 9.000 = Rp 99.000.

Distributor I akan setor PPN ke negara sebesar Rp 500 (Karena Rp 9.000 pajak keluaran Distributor I dikurangi Rp 8.500 Pajak Masukan saat membeli dari Perusahaan telekomunikasi).

Pada Tingkat Distributor II

Distributor II menjual ke Distributor Kecil atau pengecer. Di mana harga jual sebesar Rp 95.000 (Rp 90.000 harga beli + Margin Rp 5.000). Pungutan 10% = Rp 9.500.

Sehingga Distributor II menerima uang dari distributor kecil atau pengecer Rp 104.500.

Dengan setoran PPN Distributor II sebesar Rp 500 (Rp 9.500 pajak keluaran dikurangi Rp 9.000 pajak masukan waktu beli dari Distributor I).

Pada Tingkat Pengecer

Berdasarkan ilustrasi tersebut, Hestu menjelaskan harga jual pengecer adalah sebesar uang yang dia bayar ke Distributor II yaitu Rp 104.500.

Ditambah margin Rp 5.000 pada tingkat pengecer, maka harga Pulsa 100.000 yang akan sampai ke konsumen sebesar Rp 109.500.

“Harga jual pengecer adalah sebesar uang yang dia bayar ke Distributor II yaitu Rp 104.500 (harga beli Rp 95.000 plus Pajak Masukan Rp 9.500 yang menjadi cost karena tidak akan dikreditkan). Ditambah margin Rp 5.000 atau Rp 109.500, yang merupakan harga akhir ke konsumen,” jelas Hestu.

“Jadi memang kita pangkas mekanisme pemungutan PPN-nya yang sebelumnya sampai rantai terakhir (pengecer) sekarang cukup hanya sampai Distributor II yang wajib pungut PPN,” kata Hestu melanjutkan.

Sementara, pada pengenaan PPN Pulsa 10% sebelumnya atau sebelum terbitnya PMK 6/2021, Distributor Kecil dan Pengecer juga harus melakukan pemungutan PPN.

Sehingga pada pembelian pulsa 100.000 dari Pengecer kepada Distributor II: Harga Beli Rp 95.000 plus margin Rp 5.000, sehingga harga jual Rp. 100.000.

Kemudian Pengecer memungut lagi PPN 10% ke konsumen, sehingga harga akhir pulsa 100.000 pada konsumen sebesar Rp 110.000.