EDITORIAL, Pajak Karbon dan Geliat Ekonomi Hijau

13 October 2021

BisnisIndonesia, Redaksi, Rabu, 13/10/2021 02:00 WIB

Pemerintah telah menetapkan pajak karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap batu bara senilai Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), untuk menekan emisi karbon di Indonesia.

Pengenaan pajak karbon ini berlaku mulai 1 April 2021. Ketentuan ini termaktub dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang baru saja mendapatkan pengesahan dari DPR.

Aturan pengenaan pajak karbon bisa dipandang sebagai salah satu bukti konkrit atas komitmen pemerintah Indonesia dalam mengurangi dampak emisi CO2 sesuai dengan ratifikasi Perjanjian Paris 2015.

Sesuai dengan Perjanjian Paris, negara kita harus memenuhi target pengurangan emisi. Salah satunya melalui peningkatan porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) dengan target 23% pada 2025.

Hingga 2020, angka capaian bauran energi baru dan terbarukan mencapai sekitar 11%. Angka tersebut naik dua kali lipat jika dibandingkan dengan capaian pada 2015. Namun, pencapaian itu masih jauh dari target bauran EBT sebesar 23% pada 2025.

Kita memandang kebijakan pajak karbon ini merupakan terobosan yang baik dalam upaya mencapai target pengurangan emisi karbon. Namun, laiknya kebijakan baru, masih ada beberapa catatan yang harus diperhatikan oleh pemerintah.

Dari sisi tarif pajak karbon misalnya, penetapan Rp30 per kilogram CO2e boleh jadi merupakan langkah kompromi pemerintah dengan pelaku industri batu bara guna menghindari kenaikan harga listrik di tingkat konsumen. Sebelumnya dalam draf UU tersebut, tarif pajak karbon disiapkan sebesar Rp75 per kilogram CO2e.

Dengan penetapan Rp30 per kg CO2e, tarif pajak karbon di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan Singapura yang memiliki tarif US$3,71 per ton C02e atau US$0,0040 per kilogram C02e atau sekitar Rp56,89 per kg CO2e.

Padahal jumlah emisi yang dihasilkan Indonesia berada jauh di atas Singapura. Pemerintah tentu harus memikirkan potensi penyesuaian tarif pajak karbon di masa mendatang.

Keberimbangan sasaran kebijakan pajak karbon juga menjadi sorotan tersendiri. Pasal 13 Ayat 5 UU HPP menjelaskan bahwa subyek pajak karbon hanya orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung CO2 atau menghasilkan emisi karbon.

Jangan sampai pemahaman yang berbeda mengenai pemungut pajak dan subyek pajak karbon, akan membuat pemerintah dituding hanya berpihak kepada produsen batu bara dan tidak tepat sasaran dalam menerapkan pengenaan pajak karbon dari sisi permintaan.

Padahal pajak karbon seharusnya menjadi salah satu alat kontrol dalam mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan, yang tidak hanya untuk mengubah perilaku konsumen tetapi juga praktik buruk produsen penyumbang emisi karbon tinggi.

Di sisi lain, peran pajak karbon tentu saja sangat penting dalam mendukung upaya Indonesia sebagai salah satu negara yang mencanangkan target karbon netral pada 2060.

Semua itu harus diimbangi dengan pengembangan teknologi EBT secara masif agar kondisi karbon netral dapat tercapai.

Tanpa pengembangan teknologi EBT, masyarakat masih akan terus terbebani harga yang lebih tinggi untuk penggunaan energi fosil.

Namun, pengembangan teknologi EBT juga masih membutuhkan ketersediaan sejumlah logam hasil tambang seperti grafit, litium, indium, nikel, dan lainnya.

Dampaknya pun jelas, tuntutan untuk mencapai target karbon netral secara global memicu peningkatan permintaan atas logam-logam tersebut, yang berpotensi mendorong terjadinya peningkatan aktivitas penambangan.

Pemerintah harus memikirkan kondisi sirkular ekonomi yang lebih ideal dan berkelanjutan agar proses pencapaian energi hijau menjadi ekonomi hijau, tak hanya sekadar program ‘jalan di tempat’.