Ekonom Ini Kritik Rencana Pemerintah Naikkan Pajak Orang Kaya

07 June 2021

NEWS – Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia

 

07 June 2021

Jakarta, CNBC Indonesia – Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi kelas atas direncanakan akan naik. Hal ini seiring upaya pemerintah dalam membuat iklim perpajakan yang adil dan menyamaratakan struktur ekonomi di Indonesia saat ini.

Namun apakah rencana kebijakan ini dilakukan di saat kondisi yang sudah tepat?

Seperti diketahui melalui revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pemerintah akan mengubah ketentuan tarif pajak atas penghasilan kena pajak (PKP) bagi wajib pajak orang pribadi di dalam negeri. Pengenaan tarif pajak, dari yang tadinya 4 lapis, kini menjadi 5 lapis.

 

Rencananya tarif pajak baru akan dikenakan 35% kepada orang yang berpenghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun. Empat tarif PPh lainnya masih sama, yakni tarif sebesar 5% untuk orang yang berpenghasilan sampai dengan Rp 50 juta per tahun.

Kemudian tarif PPh OP 15% untuk mereka yang berpenghasilan di atas Rp 50 juta – Rp 250 juta per tahun. Adapun tarif PPh OP 25% untuk mereka yang berpenghasilan di atas Rp 250 juta – Rp 500 juta per tahun. Dan tarif PPh OP 30% untuk mereka yang berpenghasilan di atas Rp 500 juta – Rp 5 miliar.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan bahwa, dalam khasanah keilmuan, patron kebijakan seharusnya jelas, apakah countercyclical atau proclical.

Keduanya sahih dan memiliki basis yang kuat, asalkan tetap komitmen dan kredibel, serta indikator makroekonomi diarahkan ke arah yang positif.

“Kebijakan pemerintah seemingly countercyclical. Bagus dalam mengarahkan indikator makro, setidaknya sampai awal tahun ini,” jelas Fithra kepada CNBC Indonesia, Senin (7/6/2021).

Kendati demikian, menurut Fithra faktor ekspektasi dari kelompok menengah ke atas sangat perlu diperhatikan, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui sektor konsumsi.

Pun melihat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada April 2021 berdasarkan Survei Bank Indonesia (BI) sudah kembali masuk ke zona optimistis sebesar 101,5. Meningkat dibandingkan posisi Maret 2021 yang hanya mencapai 93,4.

“Dengan adanya isu kenaikan pajak, faktor ekspektasi negatif ini akan kembali muncul, memunculkan isu kredibilitas pembuat kebijakan yang patronnya sumir,” jelas Fithra.

Hal ini, menurut Fithra tampak seperti hipotesis Ricardian Equivalence mengenai ketidakefektifan dari kebijakan kontra siklus pemerintah akibat dari sifat berjaga-jaga pelaku ekonomi.

Fithra juga menjelaskan bahwa Ricardian Equivalence adalah teori ekonomi yang mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah yang berlebihan, akan dibiayai dengan pajak di masa depan.

“Ricardian Equivalence mungkin menjadi kenyataan, itu kenapa ketersediaan kelas menengah atas untuk berbelanja masih rendah. […] Inilah yang diharapkan oleh pembelanja rasional dan sekarang benar. Mereka akan menimbun uang,” tuturnya.

“Akhirnya target tidak tercapai. Meski tentu kita harus paham bahwa ini adalah untuk smoothing deficit. Tapi momentumnya salah,” kata Fithra melanjutkan.