Ada Tax Amnesty II, Orang RI Bakal Memilih Jadi Pengemplang!

07 June 2021

NEWS – Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia

 

07 June 2021

Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah sudah menyusun skema pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II dan sudah tertuang di dalam revisi kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Dalam draf RUU KUP yang beredar dan diterima CNBC Indonesia, pemerintah akan memberikan pengampunan pajak ke dalam dua program.

Program pertama yakni pengampunan Wajib Pajak (WP) peserta tax amnesty 2016-2017 dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak (DJP) belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud.

 

Harta yang diperoleh para alumni tax amnesty tersebut terhitung sejak tanggal 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015. Nantinya, dalam program pengampunan pajak teranyar, penghasilan WP terkait dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final.

Tarif yang berlaku yakni sebesar 15%. Namun apabila harta kekayaan itu kedapatan diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) maka tarif PPh final yang dipatok lebih rendah yakni 12,5%.

WP alumni tax amnesty wajib mengungkapkan harta bersih dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) dan disampaikan kepada Ditjen Pajak dalam periode tanggal 1 Juli 2021 sampai dengan tanggal 31 Desember 2021.

“Harta bersih yang dimaksud merupakan nilai harta dikurangi nilai utang,” jelas Pasal 37B ayat (2), dikutip Senin (7/6/2021).

Surat tersebut berisikan bukti pembayaran PPh Final, daftar rincian harta beserta informasi kepemilikan harta yang dilaporkan. Selain itu disertakan pernyataan akan menginvestasikan harta yang diungkapkan ke dalam instrumen surat berharga negara (SBN), dalam hal WP bermaksud menginvestasikan harta tersebut.

Selain mendapatkan tarif PPh final, Pasal itu juga menegaskan alumni tax amnesty bebas sanksi administrasi.

Adapun investasi atas harta WP terkait ditempatkan ke dalam instrumen surat berharga negara yang ditentukan oleh pemerintah di pasar perdana paling lambat pada tanggal 31 Maret 2022 dengan holding period minimal lima tahun.

Program kedua merupakan pengampunan pajak atas harta yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2019. Syaratnya, masih dimiliki pada tanggal 31 Desember 2019, tapi belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh OP tahun pajak 2019.

Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono berpandangan, kedua skema tersebut diberlakukan bersamaan, untuk perolehan aset dengan periode yang berbeda.

Artinya, kata Prianto masyarakat bisa ikut kedua skema tersebut atau memilih salah satunya tergantung unreported asetnya ada di periode yang mana.

“Skema satu untuk perolehan aset untuk periode sampai 31 Des 2015 yang masih belum diungkapkan pas WP (Wajib Pajak) ikut tax amnesty jilid 1. Skema tax amnesty jilid II untuk perolehan aset di periode 2016-2019,” jelas Prianto kepada CNBC Indonesia.

Jika dua skema tersebut yang ditawarkan oleh pemerintah dalam program tax amnesty jilid II, menurut Prianto kemungkinan akan kurang menarik bagi wajib pajak.

“Kalau cuma sanksi administrasi yang dihapus dan tarif pajaknya normal, ini kurang menarik karena wajib pajak bisa membandingkan cost dan benefit antara tax amnesty jilid I dan tax amnesty jilid II,” ujarnya lagi.

Lebih lanjut, Prianto menuturkan bahwa DJP saat ini masih kesulitan untuk melakukan data matching dari hasil perolehan data Automatic Exchange of Information (AEoI) 2018. Pasalnya data AEoI tersebut tanpa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tanpa Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan memakai alamat pemilik di luar negeri.

Data matching yang dilakukan DJP itu, disinyalir hanya akan mengulur waktu, sedangkan kadaluarsa pajak hanya 5 tahun. “Jadi data 2018 akan expired di 2024 dan hanya bisa ditagih pajaknya hingga akhir 2023,” tuturnya.

“Kalau kayak gini, masyarakat bisa pake teori probabilitas. Kalau menurut mereka, DJP akan sulit tindak lanjuti data AEoI, mereka gak akan ikut kedua skema tersebut. Tapi kalau potensi ketahuannya besar dari olahan data AEoI 2018, mereka akan cenderung ikut tax amnesty jilid II ini,” kata Prianto melanjutkan.