HASIL PERTEMUAN G7, Pajak Minimum korporasi Disepakati 15%

07 June 2021

BisnisIndonesia, Senin, 07/06/2021 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Negara-negara Kelompok 7 atau G7 menyegel kesepakatan pajak minimum perusahaan global sebesar 15% yang diusulkan Amerika Serikat. Ketentuan itu membuka jalan bagi pengenaan pajak perusahaan multinasional di tempat mereka menghasilkan uang, bukan hanya di negara asal.n

Bisnis, JAKARTA — Negara-negara Kelompok 7 atau G7 menyegel kesepakatan pajak minimum perusahaan global sebesar 15% yang diusulkan Amerika Serikat. Ketentuan itu membuka jalan bagi pengenaan pajak perusahaan multinasional di tempat mereka menghasilkan uang, bukan hanya di negara asal.

Perjanjian disepakati pada pertemuan men­teri keuangan di London, Sabtu (5/6), menandai ca­paian penting yang dapat membantu negara-negara mengumpulkan lebih banyak pajak dari perusahaan-perusahaan besar. Kesepakatan ini juga memungkinkan pemerintah untuk mengenakan pungutan pada raksasa teknologi AS seperti Amazon Inc. dan Facebook Inc.

Kesepakatan tersebut bertujuan untuk memodernisasi konsensus pajak internasional berusia seabad dan mendinginkan ketegangan transatlantik yang mengancam menjadi perang dagang saat AS di bawah kepemimpinan Donald Trump.

Namun demikian, detail dari perjanjian masih harus diselesaikan dan lebih banyak negara harus ikut menandatangani perjanjian. Implementasi penuh bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Menteri Keuangan AS Janet Yellen menjadi salah satu di antara kepala keuangan yang memuji keputusan yang belum pernah terjadi sebelumnya itu.

Dia menegaskan bahwa kesepakatan akhir itu akan menyertakan Amazon dan Facebook. Pengenaan pajak terhadap Amazon sebelumnya menjadi ganjalan karena meski berpendapatan jumbo, perusahaan itu dinilai bermargin keuntungan tipis.

“Apa yang Anda lihat adalah kebangkitan multilateralisme, kemauan negara-negara terkemuka di G7 dan G20 untuk bekerja sama mengatasi tantangan paling kritis yang dihadapi ekonomi global,” kata Yellen setelah pertemuan, dilansir Bloomberg, Minggu (6/6).

Kini fokus dunia akan beralih ke pertemuan menteri keuangan G20 pada Juli di Italia dan pembicaraan jangka panjang antara sekitar 140 negara di Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Pakta G7 itu menandai langkah untuk menulis ulang sistem global yang selama ini memungkinkan perusahaan besar menghemat miliaran dolar tagihan pajak dengan mengalihkan yurisdiksi. Hal itu juga membantu mengatasi keluhan bahwa perusahaan digital besar dapat menghasilkan uang di banyak negara dan membayar pajak hanya di dalam negeri.

Menanggapi pengumuman tersebut, beberapa perusahaan teknologi terbesar di dunia berfokus pada bagaimana kesepakatan itu dapat membantu menjernihkan aturan tentang di mana harus membayar pajak.

“Kesepakatan hari ini adalah langkah pertama yang signifikan menuju kepastian bagi bisnis dan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem pajak global,” kata Wakil Presiden Urusan Global Facebook Nick Clegg.

Seorang juru bicara Amazon mengatakan proses yang dipimpin OECD itu akan membantu membawa stabilitas ke sistem pajak internasional. Dia menggambarkan kesepakatan itu sebagai langkah maju yang disambut baik dalam upaya mencapai tujuan bersama.

Menurut komunike setelah pertemuan London, negara-negara tempat perusahaan besar beroperasi berhak mengenakan pajak setidaknya 20% dari keuntungan yang melebihi margin 10%. Hal itu akan berlaku untuk perusahaan multinasional terbesar dan paling menguntungkan.

Ditanya apakah itu berarti perusahaan seperti Facebook dan Amazon akan dimasukkan, Yellen mengatakan dua perusahaan itu memenuhi syarat dengan hampir semua definisi.

“Sebagian besar dari perusahaan tersebut kemungkinan akan dimasukkan dalam skema baru ini,” katanya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Inggris dan Prancis mengatakan bahwa mereka kini yakin bahwa raksasa teknologi akan berada di garis silang aturan baru, bahkan ketika kriteria kuantitatif akhir masih harus ditentukan.

“Kami telah berjuang selama 4 tahun di semua forum Eropa dan internasional, di sini di G7 dan G20 untuk perpajakan yang adil bagi raksasa digital dan untuk pajak perusahaan minimum,” kata Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire.

G7 menyatakan bahwa negara-negara harus berkoordinasi untuk menghapus pajak layanan digital yang telah diterapkan oleh sejumlah administrasi.

Namun, langkah itu terbukti rumit, dengan sejumlah negara yang tidak mau menghapus pajak digital sebelum mereka memiliki kepastian tentang apa yang akan mereka peroleh dari aturan global baru itu.

Menteri Keuangan Italia Daniele Franco mengatakan dia akan memperluas diskusi ketika para menteri keuangan G20 bertemu pada Juli mendatang. Setelah proposal disetujui, Italia tidak lagi membutuhkan pajak digitalnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Irlandia Paschal Donohoe, yang negaranya telah menarik beberapa bisnis besar dunia dengan pajak rendah, mengatakan kesepakatan apa pun mengenai pajak minimum harus memenuhi kebutuhan negara kecil dan besar, maju dan berkembang.

“Kami masih punya waktu untuk naik ke proses OECD dan itupun ketika proses OECD selesai, kesepakatan yang sebenarnya harus diimplementasikan,” katanya.

Adapun Le Maire mengatakan 15% adalah titik awal dan Prancis akan berjuang untuk tingkat pajak yang lebih tinggi dalam beberapa minggu mendatang.

PERSETUJUAN KONGRES

Sementara itu, Pemerintahan Presiden AS Joe Biden masih membutuhkan persetujuan dari Kongres dan akan berharap kesepakatan itu dapat dimanfaatkan untuk program infrastruktur besar-besarannya.

Biden memang tengah berupaya mendapat dukungan parlemen untuk menaikkan tarif pajak perusahaan domestik menjadi 28% dari 21%. Kesepakatan internasional sebesar 15% dapat membantunya karena menawarkan opsi multinasional.

OECD sebelumnya telah mengatakan kesepakatan global final mungkin baru bisa dicapai sampai Oktober dan dilanjutkan dengan upaya negara-negara untuk meloloskan rencana tersebut melalui badan legislatif masing-masing.

“Ada pekerjaan penting yang harus dilakukan. Namun keputusan ini menambah momentum penting untuk diskusi yang akan datang,” kata Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann.