Insentif Pajak Jumbo Jokowi, Dilema Fiskal dan investasi

10 July 2019

CNN Indonesia | Rabu, 10/07/2019 15:27 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Ambisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meningkatkan daya saing investasi dan mendorong industri riil kini semakin dekat menuju realita.

Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan pekan ini, pemerintah menerapkan kebijakan insentif pajak jumbo (super deductible tax).

Melalui beleid itu, pemerintah akan menambah indikator untuk memperoleh insentif pajak (deduction), sehingga Penghasilan Kena Pajak (PKP) semakin rendah. Jika PKP turun, tentu Pajak Penghasilan (PPh) yang dibayarkan semakin kecil.

Jokowi berjanji akan memberi pengurangan PPh hingga 200 persen bagi perusahaan yang mau investasi di bidang pendidikan dan pelatihan kerja. Bahkan, pengurang PPh bisa ditambah hingga 300 persen bagi perusahaan yang mau melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) di Indonesia.

Sejak tahun lalu, Jokowi memang ingin agar aturan ini benar-benar terbit. Di beberapa kesempatan, ia selalu meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk segera mengurus kebijakan super deductible tax tersebut.

Meski diharapkan berdampak positif terhadap investasi, namun pemerintah perlu pula merasa was-was. Pasalnya, ada konsekuensi negatif bahwa insentif pajak yang diberikan secara jor-joran akan menghambat pertumbuhan pajak, sementara investasi tak meningkat seketika.

Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Fiscal Research Bawono Kristiaji mengatakan kebijakan ini tentu sangat bisa mendorong investasi bagi vokasi dan pengembangan riset dan pengembangan. Hal ini bisa dilihat dari pendekatan teorinya, bahwa super deductible tax merupakan insentif berbasis biaya (cost-based tax incentive).

Pelaku usaha biasanya enggan menambah aktivitas baru karena takut beban pajak akan bertambah. Namun, di dalam aturan ini, aktivitas tambahan dalam bentuk vokasi dan R&D malah bisa mengurangi PPh yang dibayarkan.

Dengan demikian, kebijakan ini bisa bikin Wajib Pajak (WP) berbondong-bondong menambah investasi di bidang vokasi dan R&D. Apalagi, ia menilai pemerintah sudah tepat memilih vokasi dan R&D sebagai sasaran insentif mengingat keduanya menciptakan nilai tambah bagi perekonomian.

Di satu sisi, vokasi memiliki posisi strategis karena berkaitan dengan kompetensi sumber daya manusia. Sementara itu, R&D juga penting mengingat investasi di bidang litbang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia kurang dari 0,1 persen atau lebih rendah dari rata-rata dunia 2,2 persen menurut data Bank Dunia.

Cost based tax incentive sering dianggap lebih efektif dalam mendorong suatu aktivitas karena beban biaya tersebut secara langsung bisa dijadikan pengurang penghasilan bruto,” jelas Bawono.

Insentif ini, lanjut dia, juga tak dianggap berlebihan mengingat beberapa negara sudah memberikan insentif serupa bertahun-tahun lalu. Khusus kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan SDM, beberapa negara sudah memiliki insentif Vocational, Education, and Training (VET).

Khusus kegiatan R&D, sudah ada 50 negara yang rata-rata memberikan insentif tambahan pengurang pajak sebesar 200 persen dari nilai seharusnya. Meski terlambat dibanding negara lain, tarif pengurang pajak yang dipompa hingga 300 persen bikin insentif yang ditawarkan Indonesia akan lebih menarik dibanding yang lain.

Bawono mengatakan DDTC pernah melakukan kajian ihwal komparasi insentif pajak R&D antar negara di Asia pada 2013 silam. Sesuai kajian itu, tentu masih ada aspek yang diperhatikan pemerintah, seperti memberi definisi yang jelas mengenai R&D yang bisa mendapatkan insentif. Selain itu, kriteria WP yang bisa menerima fasilitas tersebut.

“Hal yang perlu dipahami adalah insentif pajak tersebut bisa dimanfaatkan oleh WP dalam negeri yang notabene bukan hanya investor asing, tapi juga existing taxpayer di Indonesia. Tentu ini bisa mendorong mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang selama ini dianggap sebagai komponen biaya,” terang dia.

Optimisme tersebut juga dilontarkan oleh pelaku usaha. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Perindustrian Johnny Darmawan mengatakan insentif tersebut menyasar dua hal yang memang perlu dibenahi Indonesia ke depan. Keduanya antara lain, Sumber Daya Manusia (SDM) serta kegiatan penelitian dan pembangunan.

Bagi insentif vokasi, hal ini disebutnya sejalan dengan fokus pemerintahan Jokowi lima tahun ke depan yang berkutat di pengembangan SDM. Sementara itu, dari sisi R&D, kegiatan tersebut perlu diperbanyak agar industri Indonesia memiliki nilai tambah dan punya daya saing tinggi.

Sejatinya, aktivitas R&D memang sudah dilakukan oleh beberapa pelaku industri. Namun, ia tak memiliki data pasti ihwal seberapa besar investasi yang sudah digelontorkan pelaku usaha untuk kegiatan riset dan pengembangan. Sebab, sampai saat ini, belum ada ukuran yang baku mengenai kegiatan apa saja yang bisa disebut sebagai R&D.

Terkadang, membangun pabrik sering dikategorikan sebagai bagian R&D. Membangun dan mengembangkan mesin sederhana pun kadang juga dikategorikan sebagai bagian dari riset dan pengembangan.

Mengutip data The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), biaya riset yang dilakukan perusahaan di Indonesia hanya US$547 ribu dalam setahun. Angka ini kalah jauh dibanding negara maju seperti AS atau Jepang, di mana dunia usahanya berani melakukan riset hingga masing-masing US$340,73 juta dan US$131,8 juta.

“Kebijakan ini tentu bisa memicu pembangunan kegiatan SDM dan riset. Ini sesuai dengan keinginan pemerintah ke depan,” kata Johnny.

Namun demikian, pemerintah disebutnya agak terlambat dibanding negara lain lantaran baru melakukan kebijakannya saat ini. Hanya saja, bukan berarti super deductible tax tak punya masa depan yang cerah.

Negara lain memang punya kebijakan serupa, tapi Indonesia memiliki keunggulan yang lebih.

Untuk insentif vokasi, misalnya, Indonesia memiliki 260 juta penduduk atau lebih banyak dibanding negara Asia Tenggara lainnya. Jika seluruh angkatan kerjanya punya keahlian yang mumpuni, ini bisa menjadi senjata Indonesia mendapatkan investasi di masa depan.

Kemudian, Indonesia juga memiliki sumber daya alam yang cukup beragam. Sehingga, kesempatan R&D untuk hilirisasi sumber daya tersebut masih terbuka lebar bagi Indonesia.

“Meski terlambat, memang lebih baik langsung dilakukan saja kebijakan ini. Ingat, Indonesia punya advantages yang tidak dimiliki oleh negara-negara lainnya, yang bisa menjadikan Indonesia lebih unggul,” terang dia.

Namun, menurutnya, tugas pemerintah tidak selesai. Sebab, pelaku usaha masih menanti aturan turunan dari PP tersebut lantaran isinya kurang detail.

Untuk super deductible tax di R&D, misalnya, insentif hanya disebut pengurangan faktor pengurang pajak sebesar 300 persen dari nilai seharusnya. Namun, ia masih belum tahu, apakah 300 persen ini berlaku di tahun pertama investasi saja atau dalam beberapa tahun ke depan.

Apalagi, ia juga tak tahu mengenai batasan-batasan R&D yang bisa mendapatkan fasilitas tersebut. Meski begitu, ia berharap pemerintah mau bermimpi besar melalui aturan tersebut.

Untuk pengembangan R&D, misalnya, insentif harus diberikan sampai di tingkatan riset yang paling tinggi. Dengan demikian, maka Indonesia bisa menempatkan diri sebagai hub riset dan pengembangan industri di Asia Pasifik.

“Misalnya untuk otomotif, jika seluruh riset dilakukan di sini akan sangat bagus. Selain itu juga bisa menggenjot ekspor Indonesia ke luar negeri,” jelas dia.

Menurut dia, insentif fiskal hanya mengambil sekian persen dari faktor daya tarik investasi agar mau masuk ke Indonesia. Kebijakan lain pun dibutuhkan, seperti deregulasi aturan-aturan investasi yang memberatkan, pembangunan infrastruktur yang bisa mendukung efisiensi, dan durasi perizinan usaha yang perlu dipersingkat.

Ia kemudian mengutip skor kemudahan berusaha (Ease od Doing Business/EoDB) 2019 Indonesia yang boleh ada di peringkat 73. Namun, indikator memulai berusaha (starting a business) masih ada di peringkat 134 dari 190 negara.

“Jadi tentu insentif fiskal bukan ukuran menarik atau tidaknya investasi suatu negara. Diperlukan faktor lain juga yang mendukung hal tersebut,” pungkas dia.