Insentif Perpajakan, Skema Omnibus Law Patut Diparesiasi

04 September 2019

Bisnis.com, 04 September 2019  |  22:54 WIB

Bisnis.com, JAKARTA — Langkah Pemerintah menggunakan skema omnibus law dengan mengeluarkan UU terkait insentif perpajakan dipahami untuk mendorong perekonomian dan bisnis.

Omnibus law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai payung hukum.

Direktur Eksekutif Center for Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan bahwa langkah yang dilakukan oleh pemerintah patut diapresiasi. Adapun salah satu hal yang ditunggu publik adalah penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) yang menurut rencana akan diturunkan dari 25% menjadi 20% pada 2021.

“Kami dapat memahami keputusan dan pertimbangan pemerintah memilih skema omnibus law mengingat tantangan perekonomian yang dihadapi membutuhkan solusi yang cepat dan dapat langsung berdampak bagi dunia usaha. Di saat bersamaan kita menghadapi kendala berupa kompleksitas regulasi, tumpang tindih kewenangan, dan prosedur perubahan UU dan aturan turunan yang tidak sederhana. Yang harus dijamin dan dikawal adalah aturan turunan yang mendukung agar dapat dituntaskan secara cepat, jelas, dan pasti,” ujarnya, Rabu (4/9/2019).

Meski demikian, lanjutnya, pilihan menggunakan skema ini tetap harus diletakkan dalam konteks kedaruratan, kemendesakan, dan sikap cepat tanggap, dengan tetap memperhatikan visi besar dan segala turunannya untuk dapat dituntaskan. Terkait reformasi perpajakan, secara paralel menurutnya harus tetap dilanjutkan dan dituntaskan, bahkan juga menyiapkan paket revisi UU Perpajakan yang komprehensif, termasuk agenda-agenda lain yang telah ditetapkan.

Menurutnya, poin-poin yang disampaikan Menteri Keuangan terkait RUU yang akan segera disampaikan ke DPR cukup menjawab kebutuhan jangka pendek pelaku usaha dan diharapkan dapat menjadi solusi yang memiliki dampak signifikan pada perekonomian dan dunia usaha. Demi efektivitas dan kemujaraban UU ini, pihaknya berharap tetap dilakukan dengar pendapat dengan publik untuk memperoleh masukan yang lebih banyak.

Pemerintah, tuturnya, mesti didorong untuk terus berkomitmen dan mengupayakan perbaikan, terutama mengidentifikasi dan menginventarisasi kebijakan yang menghambat perekonomian dan menjadi disinsentif bagi pelaku usaha, terutama pengusaha menengah-kecil. Area lain di luar RUU yang akan dibahas juga mencakup isu Pajak Daerah, PNBP, Kepabeanan, dan prosedur-prosedur yang perlu disederhanakan.

“Hal penting yang juga perlu diperhatikan adalah insentif pajak untuk wajib pajak non usahawan yang selama ini berpotensi terbebani pajak yang kurang proporsional, misalnya perlakuan pajak atas istri yang bekerja, tenaga pengajar, pekerja bebas dan profesi lainnya,” tuturnya.

Pemerintah, lanjutnya, juga harus segera mencari sumber-sumber baru sebagai basis pajak untuk menambal risiko hilangnya potensi pajak akibat penurunan tarif PPh Badan. Dengan keterbukaan informasi dan dukungan politik yang kuat, Ditjen Pajak diharapkan dapat lebih optimal menyisir potensi pajak baru, termasuk dengan penegakan hukum yang adil dan proporsional, sehingga menjamin sustainabilitas pendapatan negara dan pemungutan pajak yang semakin adil.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan bahwa beberapa poin dari RUU ini yang menjadi perhatian antara lain pengaturan tarif pajak penghasilan (PPh). RUU ini nanti akan menyangkut tiga undang-undang yang bisa yang dalam hal ini akan terkoreksi atau terkena, yaitu Undang-Undang PPh (Pajak Penghasilan), Undang-Undang PPN (Pajak Pertambahan Nilai), dan Undang-Undang KUP (Ketentuan Umum Perpajakan).

Terkait PPh, substansi yang paling penting di dalam RUU ini adalah penurunan tarif PPh badan, yang saat ini 25% akan diturunkan secara bertahap menjadi 20 persen. Kemudian, terdapat penurunan untuk perusahaan yang go public di bawah tarif PPh yang sudah turun tersebut 3% di bawahnya, sehingga kalau mencapai 20%, akan bisa mencapai 17%.

“Ini sama dengan PPh di Singapura. Dan ini terutama untuk go public baru yang akan masuk ke bursa sehingga mereka bisa mendapatkan insentif. Kita berikan tiga persen lebih rendah dari tarif normal untuk lima tahun,” pungkasnya.