KEBIJAKAN INSENTIF 2023 Warsa Kritis Dunia Bisnis

25 January 2023

Tegar Arief
Selasa, 24/01/2023

Bisnis, JAKARTA — Dunia usaha masih cukup rapuh. Kelompok yang menjadi salah satu mesin utama penggerak ekonomi ini berisiko menghadapi guncangan hebat apabila pemangku kebijakan kukuh untuk tidak mempertebal insentif dan stimulus yang berfungsi menciptakan daya rangsang perekonomian nasional.

Guncangan itu pun bukannya tanpa alasan. Musababnya, klaster pemulihan ekonomi dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022 menjadi satu-satunya klaster yang realisasinya melampaui pagu.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang diolah Bisnis, total realisasi kluster pemulihan ekonomi dalam PEN 2022 mencapai Rp183,4 triliun, atau 102,84% dari pagu yang senilai Rp178,32 triliun.

Celakanya, melejitnya realisasi penyerapan dalam klaster itu terjadi pada tiga pekan terakhir warsa 2022, karena pada 9 Desember tahun lalu realisasi dari klaster itu hanya 72%.

Adapun, serapan anggaran pada dua klaster lain yakni kesehatan dan perlindungan masyarakat berada di bawah plafon anggaran yang ditetapkan oleh negara.

Hal ini pun mencerminkan bahwa sejatinya dunia usaha masih butuh sokongan dari pemerintah untuk menghadapi tahun penuh tantangan ini.

Dalam proyeksi terbaru sebagaimana dibahas pada World Economic Forum (WEF) 2023 di Davos, Swiss, ancaman resesi memang diprediksi lebih terkendali dibandingkan dengan estimasi sebelumnya.

Akan tetapi, insentif bagi pelaku usaha masih teramat penting. Selain karena daya serap yang tinggi pada 2022 sehingga menggambarkan belum maksimalnya pemulihan dunia bisnis, stimulus juga berfungsi sebagai penjaga momentum pembalikan ekonomi.

Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Mudah Indonesia (Hipmi) Anggawira, mengatakan pada dasarnya pebisnis masih membutuhkan dukungan fiskal.

“Namanya insetif kalau diberikan kita senang. Tetapi harus disesuaikan dengan priotitas dan kemampuan pemerintah,” kata Angga kepada Bisnis, belum lama ini.

Kelompok pebisnis memandang, insentif yang dibutuhkan pada tahun ini adalah pada padat karya, karena terpengaruh langsung dengan demand ekspor yang menurun.

Stimulus padat karya memang telah diberikan oleh pemerintah pada tahun lalu. Dalam klaster pemulihan ekonomi PEN 2022, pemanfaatan stimulus program padat karya mencapai Rp21,3 triliun dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 540.000 pekerja yang tersebar di 34 provinsi.

Ini pun amat erat kaitannya dengan dunia usaha karena bisa memperlancar output manufaktur seiring dengan adanya bantuan dari sisi ketenagakerjaan yang masuk ke dalam komponen produksi.

Bantuan lain yang disediakan pemerintah untuk pebisnis di Tanah Air adalah insentif usaha atau insentif pajak, yang pada 2022 terealisasi Rp19,7 triliun.

Insentif ini mencakup bantuan untuk sektor industri terdampak pandemi Covid-19, penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan atau pajak korporasi, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Ditanggung Pemerintah (DTP) Kendaraan Bermotor, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) DTP Perumahan.

Soal insentif, fasilitas PPh Badan dalam bentuk diskon pajak menjadi yang paling banyak dimanfaatkan.

Misalnya apabila dibandingkan dengan pembebasan PPh Pasal 22 Impor, PPh Final Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air lrigasi (P3-TGAI) DTP, perubahan batasan penghasilan kena pajak, atau restitusi dipercepat.

Per 12 Desember 2022 realisasi insentif berupa pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50% mencapai Rp1,41 triliun. Angka itu setara dengan 140,66% dari pagu senilai Rp1,04 triliun.

Serapan insentif berupa diskon pajak badan itu juga terpantau menjadi yang paling tinggi dibandingkan dengan insentif lain.

Diskon PPh Pasal 25 menjadi salah satu jenis insentif yang amat penting, karena menjadi pengurang nilai pajak yang disetorkan wajib pajak badan. Dengan demikian, perusahaan memiliki likuiditas yang cukup.

Data di atas sejatinya mencerminkan bahwa dunia usaha belum sepenuhnya pulih dari tekanan pandemi Covid-19.

NORMALISASI

Persoalannya, pemerintah justru memberikan sinyal untuk menormalisasi kebijakan insentif pada tahun ini dengan asumsi ekonomi telah membaik.

Hal itu pun ditegaskan Menteri Keuangan yang mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 didesain dengan kondisi ekonomi normal.

Aroma insentif yang terkonsolidasi itu bukannya tanpa alasan. Musababnya, realisasi penerimaan pajak telah menembus target bahkan sebelum tutup tahun, dan positifnya pertumbuhan seluruh sektor bisnis pada kuartal III/2022.

Dua faktor tersebut menjadi gambaran bahwa kondisi ekonomi sepenuhnya telah pulih, setelah lebih dari 2 tahun melakukan upaya pengelakan dari terpaan gelombang pandemi Covid-19.

Apalagi, setoran pajak telah melampaui target. Tak hanya itu, seluruh lapangan usaha yang menjadi pendorong produk domestik bruto (PDB) pun tumbuh positif pada kuartal III/2022.

Sumber Bisnis yang dekat dengan otoritas fiskal mengatakan kebijakan insentif pada tahun depan akan berkaca pada kondisi dunia usaha per kuartal III/2022. Seiring dengan ciamiknya eksistensi bisnis yang tergambar pada setoran pajak dan sumbangsihnya pada PDB, arah normalisasi insentif makin nyata.

Sesungguhnya, pemulihan sebagian sektor bisnis bukan satu-satunya dasar yang menjadi pijakan pemerintah untuk menormalisasi insentif pada tahun depan.

Keterbatasan ruang fiskal yang dituntut untuk mengembalikan defisit APBN di bawah 3% terhadap PDB juga menjadi pertimbangan.

Sementara itu, kalangan pelaku usaha masih berharap adanya insentif pada tahun depan, mengingat tantangan ekonomi makin berat. Di antaranya adalah pengetatan kebijakan moneter dan inflasi.

Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani, mengatakan insentif perlu diberikan dengan selektif sehingga tidak mengganggu misi konsolidasi fiskal.

Menurutnya, sektor yang masih berkutat pada kelesuan antara lain padat karya terutama tekstil, dan kegiatan bisnis yang bergantung ada akses perbankan dalam mengumpulkan modal.

“Karena kebijakan moneter yang secara agresif menaikkan suku bunga acuan, kemudian akan diikuti dengan kenaikan suku bunga kredit,” katanya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengatakan Indonesia mengalami pemulihan yang sedang naik dan merata di seluruh sektor di tengah ancaman resesi global.

Dia menegaskan APBN menjadi instrumen yang dapat diandalkan ketika menghadapi berbagai macam ancaman, seperti pandemi, harga minyak dan pangan yang melonjak.

“APBN menjadi instrumen penting untuk menjaga Indonesia, masyarakat, ekonomi, jaga dunia usaha. Kita tetap akan menjaga faktor-faktor yang mendukung pemulihan ekonomi,” katanya.

Editor : Tegar Arief