Kebijakan pajak pemerintah dinilai dukung momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia

12 November 2021

Kamis, 11 November 2021 /

KONTAN.CO.ID –  JAKARTA. Kementerian Investasi/BKPM, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah bekerja keras untuk melakukan langkah-langkah inovatif dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi terutama menjaga kegiatan ekspor-impor dan investasi.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan berada di kisaran 3,5%- 4,3% pada tahun 2021. Sementara pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 optimistis akan jauh lebih baik didukung dengan kinerja ekspor yang kuat dan pembukaan sektor-sektor prioritas yang semakin luas.

Robert Pakpahan Senior Advisor Konsultan Pajak TaxPrime menyatakan, kebijakan super-deduction  Direktorat Jenderal Pajak ditujukan untuk meningkatkan daya tarik investasi dan daya saing industri nasional, mendorong industri berbasis teknologi, serta mempercepat industri manufaktur nasional agar siap menuju revolusi industri 4.0.

Direktorat Jenderal Pajak telah meluncurkan kebijakan insentif super-deduction yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019. Itu mengatur pengurangan penghasilan bruto bagi Wajib Pajak (WP) yang menyelenggarakan pendidikan vokasi paling tinggi 200% dari jumlah biaya yang dikeluarkan. Lalu mengatur kegiatan litbang paling tinggi 100% dari kegiatan yang digunakan.

Menurut Direktur Jenderal Pajak tahun 2017-2019 ini, kebijakan itu juga dapat menjadi solusi mitigasi atau dapat mencegah sengketa perpajakan terkait transfer pricing, khususnya bagi multinational enterprise.

“Dengan memanfaatkan fasilitas super-deduction ini multinational enterprise dapat merealokasikan fungsi aset dan risiko atas kegiatan litbang dan pelatihan ke Indonesia,” kata Robert dalam keterangan resminya, Kamis (11/11).

Melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pemerintah mendorong peningkatan investasi melalui penangguhan dan pembebasan bea masuk pajak dalam rangka impor, fasilitas kawasan bebas free trade zone, dan sebagainya.

Robert menyebut, fasilitas tersebut dapat meningkatkan kegiatan ekspor dan impor guna pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Sementara Kementerian Investasi/BKPM telah mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi melalui implementasi penerapan Sistem Online Single Submission Berbasis Risiko (OSS-RB). Sistem ini memberikan kemudahan dalam hal pendaftaran, permohonan perizinan, dan pengintegrasian fasilitas perpajakan, seperti tax holiday dan tax allowance.

Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan RI dalam webinar yang digelar Taprime menjelaskan, sejak awal tahun 2020 pandemi Covid-19 telah membuat perekonomian Indonesia menjadi tertekan yang bermuara pada penurunan penerimaan pajak.

Oleh sebab itu, Kementerian Keuangan menetapkan fungsi pajak tidak hanya sebagai penerimaan negara, melainkan instrumen untuk menjaga dunia usaha.

“Kita mendesain pajak bukan hanya mengambil dan mengumpulkan penerimaan bagi perekonomian, tapi pajak kita gunakan untuk memberikan insentif sehingga dunia terus melakukan kegiatan. Ini kombinasi yang kita ambil secara sadar, karena kita tahu bahwa dunia usaha akan kehilangan demand,” kata Suahasil.

Adapun insentif yang diberikan pemerintah masuk dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), meliputi pembebasan pajak penghasilan (PPh) 21, PPh 22 impor, dan PPh 25. Memasuki tahun 2021, pemerintah bahkan menambah pembebasan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan motor dan properti.

Suahasil menyebutkan, realisasi insentif pajak yang berlanjut hingga pertengahan Oktober 2021 tercatat Rp 60,57 triliun. Komposisinya, PPh Pasal 21 telah dimanfaatkan oleh 81.980 pemberi kerja dengan total sebesar Rp 2,98 triliun, PPh 22 oleh 9.490 WP sebesar Rp 17,31 triliun, PPh 25 oleh 57.529 WP sebesar 24,42 triliun dan  PPN dimanfaatkan oleh 2.419 WP  Rp 5,71 triliun.

Lalu insentif PPh badan oleh seluruh WP badan senilai Rp 6,84 triliun, insentif untuk membantu 124.209 UMKM sebesar Rp 540 miliar,  insentif PPnBM properti dimanfaatkan oleh 768 pengembang Rp 640 miliar, PPnBM kendaraan bermotor dimanfaatkan 6 pabrikan mencapai Rp 2,08 triliun, dan PPnBM PPN DTP sewa outlet ritel sebesar Rp 48,01 miliar.

“Secara konsisten kementerian keuangan menghitung berapa besar belanja perpajakan. Artinya, berapa besar penerimaan yang tidak jadi diterima oleh pemerintah karena kita memberikan kekhususan-kekhususan kebijakan sehingga pajak-pajak ini tidak perlu dibayar oleh dunia usaha atau masyarakat,” jelas Suahasil.