KEBIJAKAN PERPAJAKAN Reformasi PPN tersandera Kepentingan Politik

10 May 2023

Annasa Rizki Kamalina & Tegar Arief
Rabu, 10/05/2023

Bisnis – Fasilitas pembebasan pajak atas barang dan jasa selalu menjadi polemik. Maklum, skema yang disediakan oleh otoritas fiskal itu secara perlahan menggerogoti potensi penerimaan negara. Namun, pemerintah pun tak punya nyali untuk mengevaluasi kebijakan tersebut karena dari sisi politik amat merugikan.n

Terlebih, 2023 bisa dibilang sebagai warsa terakhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan seluruh pembantunya.

Tak pelak, hampir mustahil evaluasi pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan dieksekusi.

Faktanya, World Bank dalam laporan berjudul Pathways Towards Economic Security: Indonesia Poverty Assessment yang dipublikasikan kemarin, mengkritisi mekanisme pemajakan atas barang dan jasa di Indonesia itu.

Menurut lembaga tersebut, Indonesia sudah sepatutnya melakukan evaluasi atas diberikannya fasilitas pembebasan PPN, karena efektivitasnya yang terbatas sejalan dengan banyaknya barang dan jasa yang mendapatkan kemudahan.

Selain ketidaktepatan sasaran, pembebasan PPN juga menjadi salah satu yang menghambat optimalisasi atau pertumbuhan penerimaan pajak.

Hal itu pun tecermin dari terus membengkaknya belanja perpajakan untuk PPN dalam beberapa tahun terakhir. (Lihat infografik).

Alhasil, rasio pajak di dalam negeri pun mentok dan tak pernah menyentuh angka tinggi. Apalagi, PPN alias pajak konsumsi memberikan kontribusi yang teramat besar bagi total penerimaan pajak.

“Masih ada ruang bagi Indonesia untuk lebih memperkuat upaya peningkatan pendapatannya. Misalnya melalui penilaian kembali berbagai pembebasan pajak,” kata Country Director World Bank Indonesia Satu Kahkonen, Selasa (9/5).

Harus diakui, fasilitas pembebasan PPN memberikan keuntungan bagi masyarakat karena harga barang atau tarif jasa yang dibanderol lebih murah.

Terlebih, sejak April tahun lalu tarif PPN di dalam negeri naik dari 10% menjadi 11%.

Persoalannya, menurut World Bank ada banyak masyarakat mampu yang memanfaatkan fasilitas tersebut sehingga menggerus potensi penerimaan negara.

Menyusul dihapuskannya fasilitas pembebasan itu, World Bank merekomendasikan kepada pemerintah untuk menguatkan daya beli masyarakat dengan memberikan guyuran bantuan sosial lebih deras.

Menurutnya, langkah ini jauh lebih efektif untuk menebalkan kemampuan konsumsi tanpa menggerus potensi pajak yang menjadi sumber utama dompet negara.

Kritik dan saran dari World Bank itu pun sejatinya beralasan, mengingat pembebasan membatasi pungutan atas seluruh potensi pajak yang ada.

Menurut lembaga tersebut, pemerintah kehilangan 30% dari total potensi penerimaan PPN atau setara dengan 0,7% produk domestik bruto (PDB) akibat banjirnya fasilitas pembebasan.

Data itu selaras dengan penghitungan Bisnis mengenai daya pungut PPN yang tecermin dalam value added tax (VAT) gross collection ratio yang hanya di kisaran 65%—70% pada tahun lalu.

Artinya, dari total potensi pajak di sektor konsumsi, pemerintah hanya berhasil memungut sekitar 65%—70%.

VAT gross collection ratio merupakan indikator vital yang paling akurat mengukur kemampuan pemerintah dalam mengoptimalisasi pungutan pajak atas konsumsi masyarakat.

Musababnya, penghitungan ini mengacu pada tingkat konsumsi rumah tangga yang menjadi basis dari pungutan PPN.

Sementara itu, dalam sistem pajak di Indonesia, VAT gross collection ratio hampir mustahil berada pada posisi 100% mengingat pemerintah masih menyediakan fasilitas pembebasan PPN.

Beragam fasilitas itulah yang kemudian membatasi daya pungut negara atas seluruh potensi pajak konsumsi.

Sementara itu, pemerintah sejatinya amat menyadari risiko dari adanya fasilitas pembebasan tersebut.

Namun di sisi lain, skema tersebut dipandang sebagai strategi terjitu untuk memproteksi daya beli masyarakat.

MENGHINDARI GEJOLAK

Tak hanya itu, ada pula faktor politis yang juga diakui oleh pemangku kebijakan.

Apabila pembebasan dicabut, artinya seluruh barang dan jasa dikenai tarif PPN sehingga harganya pun lebih mahal. Gejolak inilah yang coba dihindari oleh pemerintah.

“Dalam hal ini World Bank berusaha mendorong untuk mengambil risiko politik,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Sulit diingkari, aspek politik memainkan peran penting dalam kebijakan PPN. Penghapusan fasilitas pembebasan pun bukanlah kebijakan populis yang berisiko menimbulkan kegaduhan di negeri ini.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, menceritakan sesungguhnya rekomendasi penghapusan pengecualian PPN atau VAT exemption itu muncul dari evaluasi reformasi perpajakan jilid I pada 2001—2008.

Saat itu, Carlos Silvani yang merupakan Leader tim IMF melihat bahwasanya reformasi birokrasi dan administrasi yang dihasilkan dari Reformasi Perpajakan Jilid I tak mampu meningkatkan tax ratio karena banyaknya exemption dalam sistem perpajakan Indonesia, salah satunya pembebasan PPN.

Oleh karena itu, pekerjaan rumah setelah Reformasi Perpajakan Jilid I adalah menghapus objek-objek yang mendapatan pengecualian PPN.

Celakanya, lanjutan reformasi itu baru terlaksana pada 2021 tepatnya ketika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Dalam UU HPP, sebagian besar objek yang mendapatkan pengecualian PPN dialihkan menjadi dibebaskan.

“Ini solusi terbaik saat itu karena secara politik paling memungkinkan dan memudahkan pemerintahan selanjutnya karena dari fasilitas pembebasan menjadi dikenakan secara normal tak harus mengubah UU,” jelasnya kepada Bisnis.

Fajry pun meyakini pemerintahan saat ini tak mampu dan berani untuk mengutak-atik skema PPN karena memiliki risiko politik yang teramat besar. “Selain itu juga butuh kesiapan administrasi yang kuat,” ujarnya.

Pemerintah memang wajib menelurkan kebijakan yang populis, bukan hanya untuk menjaga ekonomi juga sosial dan politik lebih kondusif.

Akan tetapi, segala sesuatu selalu ada risiko. Dalam konteks ini, risiko yang muncul sangat besar yakni terbatasnya penerimaan negara yang akan mengganggu penyehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Jadi, pemangku kebijakan pun dituntut cermat, apakah memprioritaskan kepentingan politik praktis jangka pendek, atau mempertimbangkan keberlanjutan fiskal yang saat ini masih cukup tertatih.

Editor : Tegar Arief