KERINGANAN DENDA PAJAK, Piutang Membubung, Sanksi Limbung

06 October 2021

BisnisIndonesia, Tegar Arief, Rabu, 06/10/2021 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Di tengah tingginya piutang pajak yang tidak tertagih, pemerintah justru memberikan pelonggaran sanksi terhadap wajib pajak yang memiliki kurang bayar, baik Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.n

Keringanan sanksi administrasi ini mencerminkan bahwa pemerintah hanya berharap pada kepatuhan sukarela wajib pajak ketimbang memaksimalkan mekanisme penagihan piutang yang ditetapkan melalui Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).

SKPKB diterbitkan oleh Dirjen Pajak dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak setelah dilakukan pemeriksaan.

Mengacu pada Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), jumlah denda pajak dalam SKPKB hanya berdasar pada bunga dari Pajak Penghasilan (PPh) yang tidak atau kurang bayar dalam satu tahun pajak.

Adapun tarif bunga dihitung dengan mengacu pada suku bunga acuan ditambah 15% dan dibagi 12 yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.

Sanksi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang selama ini berlaku, yakni 50% dari PPh yang tidak atau kurang bayar dalam 1 tahun pajak atau 100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau disetor.

Adapun untuk Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ditetapkan sebesar 75% dari PPN barang dan jasa serta PPnBM yang tidak atau kurang bayar.

Sama dengan PPh, ketentuan ini juga jauh lebih ringan dibandingkan dengan skema yang berlaku saat ini. (Lihat infografik).

Persoalannya, nilai piutang pajak terpantau masih cukup tinggi.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 mencatat, total piutang perpajakan pada tahun lalu mencapai Rp101,48 triliun.

Sementara itu, penyisihan piutang perpajakan yang tidak tertagih sepanjang 2020 tercatat mencapai Rp40,90 triliun yang mencakup piutang pajak serta piutang cukai dan bea meterai.

Secara terperinci, BPK mencatat piutang pajak PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 25 Orang Pribadi, PPh Pasal 26, dan PPh Final terjadi kenaikan karena terdapat penerbitan ketetapan baru yang cukup signifikan.

Sementara itu untuk PPh Pasal 25 Badan, PPN, dan PPnBM terjadi penurunan karena terdapat pelunasan melalui pembayaran oleh wajib pajak dan penyelesaian melalui upaya hukum.

Adapun untuk piutang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terjadi kenaikan di sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan nonmigas, dan PBB lainya karena adanya penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang belum dilunasi oleh wajib pajak.

Saat dihubungi Bisnis, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan bahwa keringanan sanksi itu disusun untuk mendorong tingkat kepatuhan wajib pajak.

Dengan kata lain, pemerintah tidak lagi menjadikan sanksi atau denda sebagai mekanisme untuk memaksimalkan aktivitas pengawasan atau penindakan terkait dengan piutang pajak.

“Semangat RUU ini ingin mengembalikan fungsi sanksi administrasi untuk mendorong kepatuhan, bukan menonjolkan hukuman,” kata dia kepada Bisnis, Selasa (5/10).

Menurutnya, jika penerapan denda yang berat justru akan berdampak pada melejitnya tunggakan piutang pajak dan berimplikasi menahan laju peningkatan kepatuhan wajib pajak. Perubahan sanksi ini, kata Prastowo, juga sejalan dengan relaksasi yang tertuang di dalam UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam UU tersebut, pemerintah memang mengubah skema sanksi di dalam pelanggaran Surat Pemberitahuan (SPT).

Salah satunya adalah menghapus Pasal 13A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan yang mengakomodasi pengenaan sanksi administrasi sebesar 200%.

Akan tetapi, Prastowo membantah asumsi bahwa keringanan sanksi ini disusun sejalan dengan terbatasnya efektivitas petugas pajak dalam menagih piutang pajak.

“Ini memang beberapa ketinggalan,” ujarnya.

Argumentasi pemerintah bahwa keringanan sanksi akan meningkatkan kepatuhan memang terbilang masuk akal.

KEPATUHAN RENDAH

Pasalnya, tingkat kepatuhan wajib pajak di Tanah Air sejauh ini masih sangat rendah.

Berdasarkan data Ditjen Pajak, tercatat hanya Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan yang mencatat tingkat kepatuhan memuaskan yakni mencapai 85,42% pada tahun lalu.

Sementara itu lainnya terpantau sangat rendah, yakni Wajib Pajak Badan yang hanya 60,17% dan Wajib Pajak Orang Pribadi Nonkaryawan alias masyarakat kelas atas hanya 52,45% sepanjang tahun lalu.

Pengamat Ekonomi IndiGo Network Ajib Hamdani mengatakan kepatuhan hanya bisa ditingkatkan dengan pengawasan yang lebih ketat. Terkait dengan moncernya tingkat kepatuhan kelas karyawan menurutnya lebih disebabkan karena kontribusi perusahaan sebagai pemotong setoran pajak.

Pekerjaan rumah pemerintah menurutnya ada pada peningkatan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Nonkaryawan dan Wajib Pajak Badan.

“Tingkat kesadaran dan kepatuhan pembayaran pajak masih perlu diawasi dan ke depannya ditingkatkan untuk semua lapisan,” ujarnya.