KONSOLIDASI FISKAL 2023 Mencegah Misi Menjadi Mimpi

07 November 2022

Tegar Arief
Jum’at, 04/11/2022

Bisnis – Dinamika ekonomi yang makin kental, tren kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral, hingga gerak inflasi yang sulit diprediksi menjadi aral normalisasi fiskal pada tahun depan. Prospek pembengkakan belanja diimbangi dengan teropong pajak yang cukup kosong pun menambah berat penyehatan anggaran.

Apalagi, hingga detik ini penanganan inflasi masih jauh panggang dari api, kendati secara umum indeks harga konsumen (IHK) sedikit melandai.

Pengetatan kebijakan moneter oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed sebesar 75 basis poin pun meninggalkan risiko yang kian memuncak perihal ekspektasi inflasi pada tahun depan.

Musababnya, secara teori kenaikan suku bunga itu akan menguatkan dolar AS, sehingga biaya importasi barang, terutama bahan baku dan penolong lebih mahal. Maklum, transaksi impor masih menggunakan mata uang Negeri Paman Sam.

Mahalnya biaya impor itu kemudian berisiko mengatrol indeks harga di tingkat produsen. Hal itu lantas merambat ke indeks harga perdagangan besar, indeks harga eceran, dan bermuara pada lesatan indeks harga di level konsumen.

Impaknya tentu saja melahirkan kembali momok inflasi. Terlebih, pemerintah pun menaruh ekspektasi The Fed akan mengetatkan kebijakan lebih tinggi dengan durasi waktu yang lebih lama.

Apabila skenario ini terjadi, maka dampak yang dirasakan oleh Indonesia pun tak bisa dianggap remeh. Tentu otoritas fiskal dan moneter wajib bekerja ekstra keras untuk menjangkar inflasi dan ekonomi pada tahun depan.

Persoalannya, 2023 adalah tahun pembuktian pemerintah untuk mewujudkan konsolidasi alias normalisasi fiskal, yang utamanya menurunkan defisit menjadi 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Sejatinya, misi itu amat mungkin terjadi apabila ekonomi tidak menghadapi hentakan kuat dari sisi inflasi dan pengetatan moneter. Risiko ini pun menuntut pemerintah untuk menyusun skenario cadangan, terutama dari sisi belanja untuk memproteksi daya beli masyarakat.

Akan tetapi, tidak mudah menjalankan misi ganda itu. Di satu sisi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) wajib disehatkan, di sisi lain belanja wajib digelembungkan untuk menjaga daya beli.

International Monetary Fund (IMF) dalam Regional Economic Outlook Asia and Pacific October 2022, bahkan mencatat bahwa Indonesia menjadi salah satu negara di kawasan yang harus siap menghadapi aneka rintangan normalisasi fiskal.

Menurut IMF, tantangan ekonomi pada tahun-tahun mendatang akan mendorong pemerintah untuk meningkatkan belanja sehingga menekan postur fiskal.

Celakanya, fondasi anggaran tak cukup kokoh. Hal itu ditandai dengan tingkat rasio utang terhadap PDB yang terus menanjak, sementara rasio pajak sulit beranjak.

“Rasio pajak tetap rendah di Asia, khususnya Asean seperti Filipina dan Indonesia,” tulis laporan yang dikutip Bisnis.

Sejalan dengan itu, manuver fiskal pun lebih terbatas. Opsi yang tersisa adalah berupaya dengan maksimal untuk menarik penerimaan negara, terutama dari pajak, sehingga tidak menambah beban fiskal.

Apabila pemerintah gagal mendulang penerimaan dengan maksimal, maka dana yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan belanja pada tahun depan bersumber dari utang.

Permasalahannya, kondisi itu kemudian memunculkan risiko terbukanya celah defisit yang jauh lebih lebar.

Tak hanya itu, langkah penarikan pinjaman untuk memenuhi kebutuhan belanja juga berisiko makin mengatrol rasio utang serta megaburkan misi normalisasi fiskal.

Sesungguhnya, pemerintah pun amat menyadari besarnya gerigi di jalur konsolidasi itu. Kewaspadaan itu pun terefleksi dalam postur APBN 2023.

Penerimaan pajak pada tahun depan ditargetkan hanya naik tipis yakni di kisaran 6% dibandingkan dengan outlook pada tahun ini yang senilai Rp1.608,1 triliun.

Pada saat bersamaan, belanja negara turun dari Rp3.106,43 triliun dalam APBN 2022 Perubahan menjadi Rp3.061,17 triliun, atau terpangkas 1,45%.

Dalam kaitan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa APBN tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga ekonomi, termasuk menguatkan daya beli masyarakat di tengah tekanan inflasi.

Di antaranya stabilitas harga, penebalan bantuan sosial, serta stimulus lain yang diluncurkan untuk merangsang gairah ekonomi nasional.

BATAS AMAN

Kendati demikian, pemerintah juga optimistis mampu menjaga tingkat utang dalam batas aman sehingga memuluskan misi konsolidasi yang wajib terwujud tahun depan. “Keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah akan terus dapat dijaga,” kata Sri Mulyani, Kamis (3/11).

Untuk itu, pemerintah akan terus meningkatkan peranan APBN sebagai shock absorber. Sebab, berbagai guncangan yang berasal dari ekonomi global diperkirakan masih terus berlangsung.

Sementara itu, kalangan pelaku usaha sebagai pelaku ekonomi yang berkontribusi besar pada penerimaan negara jauh lebih realistis.

Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani, memandang kacamata ekonomi pada 2023 cukup kelabu karena menghadapi sederet tantangan.

Pertama, potensi pertumbuhan ekonomi yang tidak seagresif tahun ini. Kedua, daya beli masyarakat yang cenderung turun. Ketiga, tidak ada lagi privilese pemerintah seperti yang tertuang dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Sekadar informasi, pada tahun ini pemerintah mendapatkan durian runtuh dari UU HPP yakni pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS), serta kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%.

Penerimaan tak terduga itu pun juga terbantu sektor komoditas yang berkontribusi pada pajak, pabean, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Ketiganya merupakan komponen pendapatan negara yang menjadi tolok ukur penghitungan rasio pajak. “Kondisi itu tidak terulang lagi tahun depan,” kata Ajib.

Berkaca pada peliknya persoalan fiskal itu, pemerintah tampaknya hanya memiliki opsi tunggal untuk mengamankan anggaran, yakni intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.

Intensifikasi perlu dilakukan terutama peserta PPS, sehingga aset yang dilaporkan bisa lebih produktif dan memberikan efek terhadap penerimaan pajak untuk jangka panjang.

Dari sisi ekstensifikasi, dilakukan dengan menambah wajib pajak. Kuncinya ada pada basis data dan sistem informasi yang dimiliki oleh otoritas.

Apabila pemerintah tidak melakukan terobosan ataupun upaya ekstra, maka bukan tak mungkin misi konsolidasi berakhir menjadi mimpi konsolidasi.

Editor : Tegar Arief