LAPORAN RASIO PAJAK OECD RI Terjebak di Dasar Peringkat

27 July 2022

Tegar Arief
Rabu, 27/07/2022

Bisnis, JAKARTA — Di balik torehan memuaskan dan prospek cerah penerimaan pajak sejak tahun lalu, otoritas fiskal menghadapi pekerjaan rumah yang teramat besar, yakni mengatrol rasio pajak yang masih berkutat di peringkat bawah di antara negara-negara Asia Pasifik.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2022 mencatat, rasio pajak Indonesia pada 2020 berada di bawah rata-rata Asia dan Pasifik.

Menurut laporan itu, realisasi rasio pajak pada 2020 Indonesia hanya 10,1% terhadap produk domestik bruto (PDB), sedangkan rata-rata Asia Pasifik berada di angka 19,1%.

Indonesia hanya mampu parkir di atas dua negara kecil Asia, yakni Bhutan dan Laos. (Lihat infografik).

“Rasio pajak Indonesia di bawah rata-rata Asia dan Pasifik. Indonesia juga di bawah rata-rata OECD ,” tulis laporan OECD yang dikutip Bisnis, Selasa (26/7).

Rasio pajak di Tanah Air memang terus mencatatkan penurunan. Berdasarkan data OECD, sejak 2007—2020 rasio pajak tergerus hingga 2,1 poin persentase, yakni dari 12,2% menjadi 10,1%.

Berdasarkan data historis, rasio pajak tertinggi yang pernah dicatat oleh otoritas fiskal terjadi pada 2008 yakni 13%, sedangkan angka terendah terbukukan pada 2020.

Saat ditelusuri ke belakang, target rasio pajak yang dipatok oleh pemerintah pun terbilang moderat, dan masih berada di bawah rata-rata Asia Pasifik. Pada 2022 misalnya, angka sasaran rasio pajak sebesar 9,2%.

Sementara itu, pada tahun ini pemerintah menetapkan target penerimaan pajak hingga mencapai Rp1.608,1 triliun. Apabila berhasil diraih, angka tersebut merupakan yang tertinggi dalam sejarah Indonesia.

Outlook itu naik sebesar 27,12% dibandingkan dengan target pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 yang senilai Rp1.265 triliun, dan melonjak 8,28% dibandingkan dengan APBN 2022 Perubahan yang tertuang dalam Perpres No. 98/2022 senilai Rp1.485 triliun.

Kendati demikian, rasio pajak tak lantas terdongkrak. Berdasarkan simulasi Bisnis, jika target baru tercapai, rasio pajak pada tahun ini adalah sebesar 8,93%, dengan asumsi PDB berada di angka Rp18.000 triliun.

Sekadar informasi, angka 8,93% tersebut merupakan rasio pajak dalam arti sempit yang hanya membandingkan penerimaan pajak dengan PDB.

Adapun, yang dijadikan acuan oleh pemerintah adalah rasio pajak dalam arti luas.

Rasio pajak jenis ini membandingkan total penerimaan pajak, bea dan cukai, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA) dengan PDB.

Mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 98/2022 tentang Perubahan Atas Perpres No. 104/2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022, target penerimaan pajak, bea, dan cukai adalah Rp1.783,98 triliun, sedangkan PNBP SDA Rp226,51 triliun.

Dengan demikian, maka total penerimaan pajak, bea cukai, dan PNBP SDA adalah Rp2.010,49 triliun, sehingga rasio pajak dalam arti luas pada tahun ini di angka 11,16%.

Dalam kaitan ini, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono mengatakan bahwa rasio pajak yang meningkat dapat menjadi indikasi perekonomian yang terus pulih dari dampak pandemi Covid-19.

Pemulihan ekonomi tersebut dapat dilihat dari beberapa faktor. Pertama, kinerja PPh nonmigas menjadi jenis pajak yang paling moncer karena didorong oleh implementasi UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

Kedua, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas konsumsi dalam negeri juga meningkat karena aktivitas ekonomi yang kembali normal.

“Dengan demikian maka tax ratio akan terkerek naik,” kata Prianto.

Kendati demikian, ada tantangan mendasar yang mengganjal langkah pemerintah untuk mendongkrak rasio pajak.

Kendala itu terutama adalah banyaknya sektor yang berkontribusi besar pada PDB namun tidak memberikan sumbangsih signifikan pada penerimaan negara, yakni pertanian, konstruksi, dan real estat.

Menurut Prianto, rezim Pajak Penghasilan (PPh) Final memang menjadi pengganjal laju penerimaan negara dan prospek rasio pajak.

Musababnya, dengan skema ini pajak yang dibayarkan tidak mengalami perubahan kendati perusahaan berhasil mencatatkan keuntungan yang cukup tinggi.

EVALUASI

Senada, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyarankan kepada pemerintah untuk menuntaskan evaluasi atas penetapan PPh Final pada real estat dan konstruksi sehingga mampu meningkatkan kontribusi pada penerimaan negara.

Sementara itu terkait dengan sektor pertanian yang selama ini mendapatkan tarif khusus PPN, telah dibahas melalui perubahan skema yang tertuang di dalam UU HPP dan telah diimplementasikan per 1 April 2022.

Akan tetapi tantangan pada sektor ini ada pada perluasan basis pajak mengingat mayoritas sektor pertanian digarap oleh petani rakyat yang tidak masuk ke dalam radar pemerintah, sehingga fungsi administrasi dan pengawasan petugas pajak cukup lemah.

“Memang sektor pertanian ini masuk ke dalam kategori sektor yang hard-to-tax,” ujarnya.

Fajry menambahkan, apabila pembenahan itu dilakukan maka potensi lonjakan rasio pajak bakal maksimal.

Musababnya, kenaikan rasio pajak didorong oleh pertumbuhan penerimaan pajak yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi.

Kondisi ini terjadi ketika ekonomi dalam masa pemulihan, ekspansi, atau booming. “Jadi benar bahwa rasio pajak yang meningkat ini menjadi bukti bahwa pemulihan ekonomi kita kuat,” ujarnya.

Saat dihubungi Bisnis, sejumlah pejabat Kementerian Keuangan tak merespons pertanyaan mengenai strategi yang disiapkan dalam rangka mengangkat rasio pajak.

Akan tetapi, Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Pratomo belum lama ini mengatakan bahwa pemerintah akan terus berupaya untuk mengatrol rasio pajak, salah satunya melalui implementasi UU HPP.

“Kalau berbicara peningkatan rasio pajak, basis pemajakannya harus luas,” kata dia.

Editor : Tegar Arief