‘Libur Pajak’ untuk Perusahaan Migas, Bisakah?

29 April 2020

 detikFinance, Rabu, 29 Apr 2020 02:00 WIB

 

Jakarta – Sektor minyak dan gas (migas) bumi tak luput dari dampak virus Corona. Maka itu, sejumlah insentif diusulkan supaya sektor ini tidak ‘babak belur’.

SKK Migas mengajukan setidaknya sembilan insentif kepada sektor migas untuk menangkal virus Corona, termasuk di dalamnya tax holiday atau libur pajak.

“Ini adalah usulan yang kami rangkum dari para KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) kebutuhan hulu migas,” kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam rapat dengan Komisi VII, Selasa kemarin (28/4/2020).

Usulan pertama, penundaan pencadangan biaya ASR. Keduatax holiday untuk pajak penghasilan.

Ketiga, penundaan atau penghapusan PPN LNG melalui penerbitan revisi PP 81. Keempat, barang milik negara (BMN) hulu migas tidak dikenakan biaya sewa.

“BMN hulu migas diharapkan tidak dikenakan biaya sewa keadaan sulit seperti sekarang,” imbuhnya.

Kelima, menghapuskan biaya pemanfaatan kilang LNG Badak yang saat ini sebesar US$ 0,22 per MMBTU. Keenam, penundaan atau pengurangan hingga 100% dari pajak-pajak tidak langsung.

Ketujuh, gas dapat dijual dengan harga diskon untuk volume TOP dan DCQ. “Jadi TOP take or pay dalam kontrak, sedang DCQ kondisi market,” terangnya.

Kedelapan, dengan pertimbangan keekonomian memberikan insentif untuk batas waktu tertentu. Insentif yang dimaksud seperti depresiasi yang dipercepat, perubahan split sementara, domestic market obligation (DMO) full price.

Terakhir, dukungan dari kementerian yang membina industri pendukung hulu migas seperti baja, rig, jasa dan servis terhadap pembebasan pajak bagi usaha penunjang kegiatan hulu migas.

“Kalau mereka mendapat stimulus tentu saja cost-nya kepada KKKS bisa ditekan,” ujarnya.

Seberapa Besar Dampak Corona di Sektor Migas?

Penerimaan dari sektor migas diproyeksi akan anjlok karena terdampak virus Corona. Dengan asumsi harga minyak mentah atau Indonesia Crude Price (ICP) US$ 38 per barel, maka penerimaan migas menjadi US$ 19,95 miliar.

“Apabila diasumsikan ICP menjadi US$ 38 untuk satu tahun maka kita outlook kemungkinan US$ 19,95 miliar dengan perkirakan government share US$ 6,7 miliar, cost recovery US$ 9,11 miliar dan contractor share US$ 4,15,” kata Dwi.

“Sementara analisa kami dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan posisinya akan seperti ini,” imbuhnya.

Dwi menjelaskan, dalam APBN ICP dipatok US$ 63 per barel. Dari situ, penerimaan migas diproyeksi mencapai US$ 32 miliar.

Jumlah itu terdiri jatah pemerintah (government share) US$ 14,46 miliar, cost recovery US$ 10,02 miliar, dan kontraktor US$ 7,6 miliar.

Sementara, realisasi pada kuartal I dengan ICP US$ 53,02 per barel ialah pendapat migas US$ 6,39 miliar.

“Dan ketika triwulan I masih US$ 53 per barel kami lapor gross revenue US$ 6,39 miliar di mana government share US$ 2,94 miliar, cost recovery US$ 2,41 miliar, dan contractor share US$ 1,05 miliar,” terangnya.