Memperbaiki Struktur Penerimaan Pajak yang Timpang

14 January 2020

Bisnis.com14 Januari 2020  |  10:45 WIB

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah perlu segera memperbaiki ketimpangan struktur penerimaan pajak dalam rangka memaksimalkan performa penerimaan pajak.

Hingga akhir tahun 2019, masih banyak sektor yang kontribusi penerimaan pajaknya tidak sejalan dengan kontribusinya terhadap PDB.

Contohnya, sektor manufaktur yang secara rata-rata berkontribusi sebesar 19% terhadap PDB memiliki kontribusi sebesar 29,4% terhadap penerimaan pajak.

Sebaliknya, sektor konstruksi yang secara rata-rata memiliki kontribusi terhadap PDB sebesar 10,6% hanya berkontribusi 7,2% terhadap penerimaan pajak.

Secara keseluruhan, penerimaan pajak nonmigas, non-PBB, dan non-PPh DTP cenderung didominasi oleh sektor manufaktur dan perdagangan dengan kontribusi mencapai 49,3%. Dari sisi PDB, kedua sektor tersebut memiliki kontribusi terhadap PDB sebesar 33%.

Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mengatakan bahwa struktur penerimaan pajak idealnya selaras dengan struktur perekonomian.

Ketidaksesuaian antara struktur PDB dan struktur penerimaan pajak dapat muncul karena masih terdapat tax gap atau potensi pajak yang belum sepenuhnya bisa dipajaki.

Masalah tersebut muncul karena masih terdapat sektor yang belum optimal dipajaki karena kepatuhan dari sektor terkait yang rendah atau karena ada kebijakan-kebijakan seperti fasilitas pajak, skema pajak final, dan pengurangan tarif.

Dengan struktur penerimaan pajak yang selaras dengan struktur PDB, maka pertumbuhan ekonomi baik secara sektoral maupun secara akumulatif akan tecermin pada penerimaan pajaknya.

“Dalam kondisi ideal tersebut, maka tax buoyancy suatu negara akan berada dalam angka ideal atau setidaknya di angka 1,” ujar Bawono, Senin (13/1/2020).

Secara jangka menengah, tax buoyancy yang ideal tersebut juga akan meningkatkan tax ratio.

“Dalam hal ini, pemerintah perlu memetakan mengapa tidak ada keselarasan antara sektor ekonomi dan sektor penerimaan pajak,” ujar Bawono.

Senada, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan bahwa semakin besar kontribusi suatu sektor ekonomi terhadap PDB maka seharusnya semakin besar pula penerimaan pajaknya.

Namun, hingga saat ini masih ketentuan perpajakan di Indonesia masih memberikan perlakuan perpajakan yang berbeda-beda atas tiap-tiap sektor.

Beberapa sektor yang mendapatkan perlakuan khusus antara lain sektor pertanian yang beberapa barangnya tidak dikenai PPN sehingga kontribusinya atas penerimaan pajak selalu di bawah kontribusinya terhadap PDB.

Tercatat, sektor pertanian memiliki kontribusi terhadap PDB sebesar 13% tetapi hanya berkontribusi sebesar 3% terhadap penerimaan pajak.

“Perbedaan perlakuan ini juga yang berlaku pada sektor Konstruksi, di mana PPh di sektor konstruksi bersifat final dihitung dari peredaran brutonya,” ujar Yustinus.

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, PPh Final dari sektor konstruksi pada 2019 tumbuh 8,31% (yoy) dan setoran PPh Finalnya sendiri mencapai Rp21,16 triliun.

Secara keseluruhan, setoran pajak dari sektor konstruksi mencapai Rp89,65 triliun atau tumbuh 3,3% dibandingkan dengan realisasi 2018. Dengan ini, 23,6% dari setoran pajak sektor konstruksi menggunakan skema PPh Final.

Menurut Yustinus, pemerintah memiliki opsi untuk menghapuskan perlakuan pajak yang berbeda atas tiap sektor meski memang perlu dilakukan kajian yang mendalam.

Untuk diketahui, tax buoyancy per 2019 tercatat hanya 0,17 dan mencapai 0,25 apabila hanya memperhitungkan penerimaan pajak nonmigas.

Dengan turut memperhitungkan realisasi penerimaan pajak, kepabeanan dan cukai, serta PNBP SDA, tax ratio pada 2019 juga tercatat rendah pada angka 10,6%.

Namun, apabila hanya memperhitungkan penerimaan pajak dan asumsi PDB nominal sebesar Rp16.010 triliun, maka tax ratio pada 2019 tercatat hanya sebesar 8,32%.