Mencermati Rencana Integrasi NIK dan NPWP

23 November 2021

Galih Ardin – detikNews
Senin, 22 Nov 2021

Jakarta – Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah disahkan. Melalui proses yang panjang, delibratif, diskursif, dan dinamis rancangan undang-undang yang sebelumnya bernama RUU Konsolidasi Fiskal tersebut akhirnya diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021. Terdapat beberapa isu baru dalam peraturan tersebut, salah satunya penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Melalui beleid tersebut pemerintah mengatur bahwa NPWP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk Indonesia adalah dengan menggunakan NIK. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1a) UU HPP. Lebih lanjut, di dalam Pasal 2 ayat (10) juga disebutkan bahwa dalam rangka penggunaan NIK sebagai NPWP, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri wajib memberikan data kependudukan dan data balikan kepada Menteri Keuangan untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.

Guna mendukung rencana integrasi NIK dengan NPWP tersebut, pada awal September 2021 pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2021 tentang Pencantuman dan Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Pelayanan Publik. Melalui regulasi tersebut pemerintah mengatur bahwa untuk mendapatkan pelayanan publik seperti perizinan, masyarakat harus mencantumkan NIK dan/atau NPWP. Di dalam konsideransnya disebutkan bahwa tujuan dari peraturan ini adalah untuk mewujudkan standardisasi dan integrasi nomor identitas yang digunakan sebagai kode referensi layanan publik.

Beberapa negara telah terlebih dahulu menerapkan single identity number dalam layanan publik dan perpajakan. Jepang misalnya, telah mengintegrasikan layanan social security dengan layanan perpajakan melalui My Number System (OECD, 2021). Melalui sistem tersebut, Wajib Pajak harus mencantumkan nomor My Number apabila ingin memanfaatkan layanan perpajakan dan layanan perlindungan sosial. Demikian halnya dengan Kanada yang telah menerapkan Social Insurance Number (SIN) terhadap pelayanan publik sejak 1967 (Government of Canada, 2020).

Namun demikian, rencana penggunaan NIK sebagai identitas perpajakan bukan tanpa masalah. Besarnya jumlah angkatan kerja di Indonesia, keterbatasan sistem administrasi perpajakan, sampai dengan kerentanan proses integrasi data perpajakan dan data kependudukan menjadi tantangan utama proses integrasi tersebut.

Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada 2020 diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia pada 2020 adalah sebesar 271,35 juta jiwa atau mengalami peningkatan sebesar 33,51 juta jiwa dibandingkan dengan Sensus Penduduk 2010 (BPS, 2021). Dari 271,35 juta jiwa penduduk tersebut, 70,72% merupakan angkatan kerja (workforce) atau penduduk usia produktif yang berusia antara 15 sampai dengan 65 tahun.

Apabila diasumsikan bahwa penduduk usia produktif tersebut merupakan penduduk yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif perpajakan, maka paling tidak pemerintah harus menyediakan 191,89 juta slot NPWP Orang Pribadi untuk mengakomodasi ketentuan integrasi NIK dengan NPWP. Padahal, sampai dengan 2021 jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi yang diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) baru sebesar 45,43 juta (DDTC, 2021).

Peningkatan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi yang disebabkan karena integrasi NIK dan NPWP tersebut tentunya harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas SDM maupun kapasitas teknologi informasi. Untungnya, pada saat ini DJP sedang mengembangkan sebuah core tax system yang bernama Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP). Sistem ini digadang-gadang mampu mengadministrasikan jutaan Wajib Pajak sekaligus melakukan pemantauan kepatuhan Wajib Pajak tersebut. Sayangnya, sistem tersebut baru akan mulai beroperasi secara bertahap pada pertengahan 2023 (DDTC, 2021).

Kendala kedua yang timbul dari integrasi NIK dan NPWP adalah potensi peningkatan administrative cost dan compliance cost. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada 2020 diketahui bahwa 56,1% penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dan 91,32% penduduk berdomisili sesuai dengan Kartu Keluarga (BPS, 2021). Apabila kedua fakta ini dihubungkan dengan rencana pengintegrasian NIK dengan NPWP, maka agaknya kita dapat menarik kesimpulan awal bahwa kantor-kantor pajak di Pulau Jawa akan mempunyai beban administrasi yang lebih besar daripada kantor pajak yang berada di luar Pulau Jawa.

Dalam jangka pendek, ketimpangan beban administrasi perpajakan tersebut akan menyebabkan peningkatan administrative cost atau beban yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengadministrasikan Wajib Pajak dan melakukan penagihan pajak (Evans, 2008).

Selain itu, pengintegrasian NIK dan NPWP sedikit banyak juga akan meningkatkan compliance cost dari Wajib Pajak. Studi yang dilakukan oleh Evans (2003) menunjukkan bahwa faktor utama yang menyebabkan peningkatan compliance cost pada Wajib Pajak Orang Pribadi di Australia adalah frekuensi perubahan peraturan.

Selain integrasi NIK dengan NPWP, dalam beberapa tahun belakangan ini, peraturan perpajakan diwarnai beberapa perubahan yang signifikan baik melalui UU Cipta Kerja maupun UU HPP. Potensi peningkatan compliance cost ini tentu saja perlu dimitigasi oleh pemerintah dengan menerbitkan aturan turunan yang memenuhi kaidah four canon of taxation sebagaimana dijelaskan oleh Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nation.

Permasalahan ketiga yang kemungkinan timbul dari integrasi NIK dengan NPWP adalah proses integrasi dan kerahasiaan data. Bukan rahasia umum lagi bahwa kerahasiaan data di Indonesia merupakan hal yang krusial. Beberapa kali kita mendengar bahwa terjadi kebocoran data masyarakat. Bahkan, pada pertengahan Mei 2021 dilaporkan bahwa terjadi kebocoran 279 juta masyarakat Indonesia (BBC, 2021).

Berdasarkan hal tersebut di atas, untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses pengintegrasian data kependudukan dan perpajakan, pada dasarnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus dapat meyakinkan kepada masyarakat bahwa proses pengintegrasian data kependudukan dan perpajakan berjalan secara aman, transparan dan akuntabel. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, mengurangi risiko kebocoran data dan menjaga tingkat kepatuhan Wajib Pajak.

Kedua, pemerintah, dalam hal ini DJP dan Kementerian Keuangan harus bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa sistem administrasi perpajakan yang baru dapat beroperasi dengan segera. Hal ini dikarenakan begitu proses integrasi data kependudukan dan perpajakan dimulai, DJP harus siap untuk mengadministrasikan jutaan Wajib Pajak baru. Selain itu, pengaplikasian PSIAP tersebut diharapkan mampu mengurangi administrative cost yang kemungkinan timbul.

Ketiga, dalam jangka panjang DJP harus mampu bertransformasi dengan mengembangkan seluruh layanan perpajakan secara digital. Digitalisasi dan otomasi layanan perpajakan dapat memberikan trigger kepada Wajib Pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya secara mandiri dan efisien. Selain itu, menurut studi yang dilakukan oleh Lazos, et al (2020), tingkat layanan elektronik dalam administrasi perpajakan menentukan tinggi rendahnya compliance cost Wajib Pajak yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak.

Pada saat ini beberapa bank di Indonesia sudah mulai mengembangkan layanan perbankan digital. Sehingga, nasabah tidak perlu datang lagi ke bank untuk mendapatkan layanan. Oleh sebab itu, sudah selayaknya DJP bertransformasi dengan mengembangkan layanan kantor pajak digital. Pada akhirnya kita berharap semoga proses integrasi NIK dan NPWP akan mampu meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, menurunkan compliance cost dan administrative cost serta mewujudkan single identity number dalam layanan publik.

Galih Ardin Strategic Account Representative

(mmu/mmu)