PENERIMAAN PAJAK, Jalan Berliku Memburu Pajak Penghasilan

23 November 2021

BisnisIndonesia, Tegar Arief, Selasa, 23/11/2021 02:00 WIB

Ekonomi yang terimpit pandemi Covid-19 berdampak pada perlambatan putaran roda ekonomi dunia dan terbatasnya kemampuan masyarakat dalam membayar pajak.

Tantangan tersebut membayangi langkah pemerintah yang berupaya jemput bola mencapai sasaran penerimaan.

Pemulihan yang berjalan stagnan memperberat gerak tangan otoritas fiskal dalam memungut penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) yang pada tahun depan melonjak cukup signifikan.

UU No. 6/2021 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022 memberikan amanat kepada pemerintah untuk menarik PPh senilai Rp680,8 triliun.

Dibandingkan dengan APBN 2021 yang senilai Rp683,7 triliun, angka sasaran itu memang memperlihatkan penurunan tipis yakni sekitar 0,4%.

Sayangnya, dalam menetapkan target PPh 2022, pemerintah menggunakan dasar outlook penerimaan PPh pada tahun ini sebagai acuan, yakni di angka Rp615,2 triliun. Dengan demikian, pertumbuhan sasaran penerimaan atas penghasilan mencapai 10,6%.

Persoalannya, secara historis pemerintah selalu kesulitan mewujudkan pertumbuhan PPh di atas 5%. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, dalam 5 tahun terakhir terpantau hanya pada 2018 performa PPh cukup prima yakni tumbuh 15,95%.

Akan tetapi, kala itu menggemuknya kantong negara disumbang oleh derasnya setoran PPh minyak dan gas (migas) yang diuntungkan oleh meroketnya harga minyak di pasar global.

Alhasil, total penerimaan PPh mampu berada di posisi Rp750 triliun, melejit dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya Rp646,8 triliun. Adapun pada 2017, penerimaan PPh terkoreksi 2,9%.

Sementara itu, pada 2019 aliran pungutan atas penghasilan hanya naik 2,9% menjadi Rp772,3 triliun, dan terkoreksi hingga 23% pada tahun berikutnya menjadi hanya Rp594 triliun.

Koreksi kinerja PPh pada tahun lalu memang cukup wajar, mengingat ekonomi berada dalam tekanan akibat merebaknya hawar virus Corona. Tahun ini pun tak lebih baik. Suramnya prospek PPh pada 2021 tecermin dari besaran outlook yang jauh di bawah target APBN 2021.

Bagaimana dengan tahun depan?

Jelang pengujung tahun ini, harga sejumlah komoditas memang cukup bugar sehingga memberikan tambahan penerimaan PPh. Namun tak ada yang bisa menjamin kondisi ini mampu bertahan pada tahun depan.

Setoran dari Wajib Pajak Orang Pribadi pun diproyeksikan masih terbatas seiring dengan banyaknya insentif, terutama untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan.

Pemerintah memang memiliki peluang untuk menggali potensi penerimaan melalui penambahan batas atau bracket yang menyasar Wajib Pajak Orang Pribadi Nonkaryawan alias masyarakat kaya.

Penambahan bracket itu termuat di dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang memberikan legalitas kepada pemerintah untuk mengenakan tarif 35% atas penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar per tahun.

Namun demikian, potensi yang bisa digali dari wajib pajak kelas ini sangat terbatas. Maklum, hanya segelintir masyarakat Indonesia yang memiliki batasan penghasilan di angka tersebut.

“Untuk PPh Orang Pribadi, target peningkatan tidak terlalu besar karena kenaikan tarif progresif 35% hanya menyasar segelintir orang kaya,” kata Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono kepada Bisnis, Senin (22/11).

Perburuan pajak kepada korporasi pun tak cukup mudah. Musababnya, mayoritas dunia usaha masih memikul beratnya beban akibat dampak pandemi Covid-19 sejak tahun lalu.

Terlebih, pada tahun depan pemerintah membatalkan relaksasi tarif untuk PPh Badan atau pajak korporasi menjadi 20%. Dengan demikian, tarif yang berlaku pada 2022 sebesar 22%, sama seperti tahun ini.

Selain itu, wajib pajak korporasi masih berkesempatan memiliki kompensasi kerugian atau carrying loss. Artinya, wajib pajak yang mencatatkan kerugian pada suatu tahun pajak, dapat digunakan untuk menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya.

Dengan demikian, PPh yang terutang pada tahun depan menjadi lebih kecil atau tidak terutang sama sekali apabila wajib pajak korporasi mencatatkan kerugian usaha pada tahun ini.

Celakanya, selama ini ketergantungan pemerintah terhadap badan usaha dalam memungut PPh sangat besar. Alhasil, peluang otoritas pajak untuk membidik korporasi makin buram.

Kemungkinan terbaik yang bisa dimaksimalkan adalah dengan sektor bisnis yang diuntungkan oleh dinamika pandemi Covid-19. “Contohnya adalah industri rumah sakit, alat kesehatan, dan farmasi,” kata Prianto.

Pelaku usaha kian sempoyongan lantaran ketidakpastian ekonomi pada tahun depan diproyeksikan meningkat, baik dari sentimen domestik maupun global.

Dari dalam negeri, risiko macetnya laju ekonomi datang dari ancaman gelombang baru Covid-19. Adapun dari eksternal, dunia usaha tengah memantau dampak dari pengetatan kebijakan moneter, krisis listrik, hingga terlilitnya rantai pasok global.

“Ini memang masa penuh keti­­dakpastian, sehingga APBN 2022 disusun pada masa penuh keti­dakpastian,” kata Pemerhati Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar.

Tak bisa dipungkiri, kunci dari keberhasilan pemerintah untuk mencapai target PPh pada tahun depan adalah pengendalian dampak pandemi Covid-19, baik dari sisi medis maupun ekonomi.

Sementara itu, mitigasi risiko dari ketidakpastian ekonomi yang disebabkan oleh faktor eksternal sejauh ini telah tertangani dengan baik.

Tapering oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed telah diantisipasi sejak jauh-jauh hari. Pun dengan krisis listrik, yang diyakini tidak akan menjalar ke Tanah Air.

Dengan demikian, praktis risiko tersandungnya langkah pemerintah untuk memungut PPh ada pada penanganan hawar Corona. “Kalau tidak ada gelombang Covid-19 lagi, ekonomi 2022 sudah kembali ke sedia kala,” ujar Fajry.

Berkaca pada kondisi tersebut, pemerintah memang perlu realistis. Boleh saja target pertumbuhan PPh cukup ambisius. Kans untuk merealisasikan sasaran itu pun cukup terbuka.

Akan tetapi, kondisi ini menimbulkan konsekuensi, yakni makin beratnya beban wajib pajak korporasi di sektor yang diuntungkan oleh pandemi Covid-19. Sebab, sektor inilah yang akan menjadi tulang punggung pemerintah untuk mencapai sasaran tersebut.

Sadar akan besarnya berbagai risiko yang tengah mengintai, otoritas pajak pun telah memasang kuda-kuda. Perburuan pajak lebih fokus pada sektor tertentu. Sejalan dengan itu, aktivitas pengawasan bakal diperketat.

“Kontributor [PPh} utama adalah sektor yang tumbuh positif, di antaranya industri pengolahan, perdagangan, informasi dan komunikasi, serta jasa kesehatan,” kata Neilmaldrin Noor, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.

Dari aspek pengawasan, radar pemerintah akan diperkuar melalui Pengawasan Pembayaran Masa (PPM) dengan memanfaatkan momentum technical rebound penerimaan sepanjang tahun ini.

Tak berhenti sampai di situ, kecermatan pemerintah dalam memantau wajib pajak juga akan diejawantahkan melalui Pengawasan Kepatuhan Material (PKM), perluasan basis pajak, hingga penggalian sumber baru.

Agresivitas otoritas pajak dalam meneropong berbagai sisi potensial ini memang patut didorong dalam rangka menjaga ketahanan fiskal menghadapi besarnya ancaman ekonomi pada tahun depan.

Jika penglihatan pemerintah cermat, maka rekor baru akan tercipta yakni pertumbuhan penerimaan PPh berada di angka dua digit. Hal ini pun bisa dijadikan klaim bahwa ekonomi sepenuhnya berhasil pulih dari tekanan pandemi Covid-19.

Namun jika gagal, lagi-lagi kredibilitas pemerintah dipertaruhkan. Bukan perkara keberhasilan dalam memungut yang kurang prima, melainkan lebih kepada kerealistisan pemerintah dalam menetapkan sasaran penerimaan atas penghasilan.