Mengkritisi Rencana Kenaikan Tarif PPN Selasa

09 June 2021

8 Juni 2021 | Investor-

Jika rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 15% pada tahun 2022 adalah benar, bisa diduga bahwa kondisi likuiditas pemerintah menghadapi masalah serius.

Paling tidak, sinyal tersebut memberikan indikasi bahwa penerimaan dalam negeri dari PPN tidak optimal, belum lagi yang bersumber dari PPh, pengelolaan sumber daya alam dan aset.

Indikator penyebabnya yang sudah seringkali dibahas adalah terjadi shortfall pajak. Yaitu sebuah kondisi di mana realisasi pe ne rimaan negara lebih rendah dibandingkan dengan target dalam APBN.

Problem fundamentalnya sudah bisa diduga, yakni keseimbangan primer yang merupakan selisih antara total pendapatan di kurangi belanja negara, di luar pembayaran bunga utang, neracanya negatif.

Jika keseimbangan primer negatif, pemerintah tetap harus mencari dana pinjaman, baik menarik dana dari lembaga-lembaga keuangan internasional maupun dari pasar obligasi. Maka duduk perkaranya cukup jelas, yaitu pemerintah menghadapi masalah cashflow.

Rencana menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 15% tahun 2022 pasti menjadi bagian dari cara pemerintah untuk mengatasi shortfall pajak. Jalur yang umum dilakukan adalah melakukan intensifikasi, yakni memaksimalkan potensi pajak yang ada, misal menambah objek paja.

Upaya lain adalah ekstensifikasi, yak ni memperluas basis subjek pajak. Apakah menaikkan tarif PPN men jadi 15% merupakan pilihan ke bijakan yang tepat? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab karena banyak faktor ekonomi yang harus diperhatikan,

Sebagai diskursus yang penulis catat dari UU tentang PPN dinyatakan bahwa tarif PPN dapat dinaikkan setinggi-tingginya 15% dan serendah-serendahnya 5%. Sepanjang penulis tahu, PPN sesungguhnya adalah pajak atas konsumsi yang menganut sistem kredit pajak.

PPN dipungut pada saat terjadi pengadaan barang dan jasa, biasa disebut pajak masukan (input). Juga dipungut pada saat penjualan barang dan jasa, biasa disebut sebagai pajak keluaran (output).

Pajak masukan dapat dikreditkan terhadap pajak keluarannya. Bila terjadi lebih bayar, maka selisihnya bisa direstitusi. Jika terjadi kurang bayar, selisihnya harus dilunasi.

Inilah mengapa konsep PPN berbeda dengan konsep Pajak Penjualan (PPn) yang pernah berlaku sejak tahun 1951 hingga tahun 1983 yang kemudian diganti dengan UU PPN yang terbit pada tahun 1983.

PPn (n kecil) bersifat final tapi menimbulkan beban berganda karena tarifnya sangat bervariasi. Sedangkan PPN (N besar) dapat dikreditkan/tidak bersifat final untuk menghindari pemungutan berganda dengan menggunakan single tarif.

Jika tarif PPN naik menjadi 15%, pertanyaannya, menjadi beban siapa akibat kenaikan tersebut? Jawa bannya akan menjadi beban konsumen (baik konsumen antara maupun konsumen akhir).

Siapa konsumen antara? Mereka adalah industri dan pedagang atau dunia usaha. Sedangkan konsumen akhir ada lah masyarakat luas sebagai peng guna barang dan jasa yang di produksi dan diperdagangkan di pasar.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa dunia usaha acapkali mempermasalahkan PPN? Jawabannya minimal ada dua, yakni selain tarifnya dinilai ketinggian, juga karena proses restitusi tidak bisa cepat diselesaikan.

Bagi industri dan du nia usaha, beban itu dirasakan berat karena pada waktu belanja barang dan jasa untuk diproses sudah lebih dahulu dipungut PPN masukan. Sementara itu, barang dan jasa tersebut masih akan diproses lebih lanjut menjadi barang jadi sebagai output, yang kemudian baru akan dijual.

Beban awal sudah cukup besar yang harus dipikul, tapi beban ini belum bisa dikreditkan di saat yang sama karena industri baru bisa menarik PPN keluaran saat terjadi transaksi antara produsen dan konsumen.

Selama masa pajak, misal setiap bulan atau tiga bu lanan akan dilakukan mekanisme rekonsiliasi pajak masukan dan pajak keluaran yang selisihnya bisa lebih bayar atau kurang bayar. Lebih bayar bisa direstitusi, dan kurang bayar harus dilunasi. Secara teknis praktiknya seperti itu. Jika administrasi PPN sudah sangat efisien, sesungguhnya PPN tidak akan mempengaruhi biaya produksi dengan catatan proses restitusinya super cepat.

Sebab kalau tidak pasti akan menimbulkan cost of money, yang mau tidak mau biaya tersebut akan dibebankan pada biaya produksi seperti halnya beban cost of fund. Bagi pemerintah, PPN adalah soal cashflow yang sangat likuid karena bisa ditarik pada setiap terjadi transaksi.

Bagi industri dan dunia usaha juga merupakan masalah cashflow karena barang dan jasa yang dibeli sudah ditarik PPN masukan. Sementara itu, mereka para produsen baru bisa menarik PPN keluaran pada saat barang dan jasa masuk dalam peredaran di pasar untuk diperdagangkan.

Karena itu, sistem PPN ini lebih memberi daya tarik bagi dunia usaha perdagangan ketimbang memberi dorongan bagi dunia usaha untuk bergerak di sektor industri. Ini menjadi tantangan kebijakan yang perlu dikaji lebih mendalam dan cermat tentang koneksitas antara kebijakan industri dan kebijakan PPN untuk mendukung industrialisasi.

Karena situasi perekonomian sedang menuju proses pemulihan, serta beban industri dan dunia usaha selama masa pandemi sudah sangat berat, sebaiknya pemerintah tidak kebelet untuk menaikkan tarif PP.

Bahkan jika ini dipaksakan, pasti akan menimbulkan efek psikologis di pasar, yakni berupa kenaikan harga barang yang tentu akan mendorong kenaikan inflasi. Padahal proses pemulihan ekonomi sangat membutuhkan tingkat inflasi yang rendah dan kurs rupiah yang kuat.

Untuk mendorong investasi diperlukan suku bunga rendah, dan suku bunga rendah bisa dilakukan jika tingkat inflasinya rendah. Pemerintah memang menghadapi kerugian fiskal, tetapi industri dan dunia usaha menghadapi keru gian bisnis.

Beban ini memang harus dipikul bersama, sehingga kebijakan ekonomi pemerintah harus bisa merespons kebijakan bisnis sektor industri dan dunia usaha pada umumnya.

Pemerintah sebaiknya fokus saja menjalankan pengelolaan APBN, yakni memperbaiki kualitas belanja dan menjalankan disiplin anggaran. Bila perlu menerapkan sistem balance budget, daripada menjalankan sistem deficit budget. Kembali ke balance budget akan bisa berkontribusi untuk menekan beban utang.