Menimbang untung-rugi tarif pajak minimum 15% untuk perusahaan multinasional

30 July 2021

Jumat, 30 Juli 2021

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Forum G20 telah menyepakati adanya tarif pajak minimum perusahaan multinasional sebesar 15% atas penghasilan bruto minimal EUR 750 juta di negara terkait. Konsensus tersebut, tentunya bisa menguntungkan atau merugikan Indonesia sebagai anggota G20.

Kebijakan perpajakan internasional itu tertuang dalam cetak biru yang ada dalam proposal Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising From the Digitalisation and Globalization of the Economy. Selanjutnya, G20 akan membahasnya di pertemean mendatang dan diharapkan bisa diimplementasikan pada 2023.

Dalam pertemuan yang digelar pada pertengahan Juli lalu, secara bersamaan G20 mengeluarkan ketentuan carve-out atau tambahan potongan pajak sebesar 5% bagi negara-negara berkembang dalam Pilar 2 perpajakan internasional tersebut. Tujuannya sebagai daya tarik para investor asing.

Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Pande Oka Putu mengatakan, pemerintah Indonesia mendukung adanya solusi yang bersifat multilateral tersebut. Dengan pajak minimum perusahaan multinasional, diyakini bisa mengatasi terjadinya penggerusan basis pajak akibat adanya base erosion profit shifting (BEPS).

Menurut Oka, manfaat lainnya yakni guna menghentikan tren race to the bottom negara-negara yang memberikan tarif pajak rendah atau di bawah rata-rata global. Sehingga, dengan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan yang berlaku saat ini sebesar 22% dan tahun depan turun jadi 20%, pajak Indonesia bisa lebih kompetitif

“Pemberlakuan kesepakatan global tersebut, termasuk ruang carve out-nya, merupakan kesempatan bagi semua negara, termasuk Indonesia, untuk melakukan introspeksi melihat kembali kebijakan insentif pajak yg ada sehingga  dapat lebih optimal dalam mencapai tujuannya,” kata Oka kepada Kontan.co.id, Jumat (30/7).

Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kemenkeu Mekar Satria Utama menambahkan adanya patokan tarif pajak itu, maka race to the bottom terkait tarif pajak PPh Badan akan terhenti setidaknya di besaran 15%. “Sehingga membuat negara-negara berkembang seperti Indonesia di masa depan tidak lagi memberikan insentif asing dalam bentuk insentif pajak, tetapi pada insentif kemudahan usaha, biaya buruh murah, infrastruktur yang baik,” kata Mekar kepada Kontan.co.id, Jumat (30/7).

Menurut Mekar, besaran tarif pajak Indonesia saat ini sudah cukup ideal. Kalau tarif PPh Badan Indonesia rendah seperti beberapa tax haven atau di bawah tarif global minimum, maka Indonesia tidak akan dapat benefit lagi. “Tarif pajak rendah memberikan insentif pajak rendah itu malahan seperti memberikan subsidi kepada negara di mana induk perusahaan tersebut berada,” ujar Mekar.

 

Setali tiga uang, apabila konsensus perpajakan internasional Indonesia dilaksanakan tahun 2023, dengan tarif efektif PPh Badan yang nantinya sebesar 20%, maka pemerintah bisa tetap mengakomodir pemberian insentif pajak seperti tax holiday. “Yang jelas, dengan menjadi negara yang menandatangani Global Consensus, tetap akan memberikan benefit bagi Indonesia,” kata Mekar.

Di sisi lain, Organisation for Economics Co-operation and Development (OECD) dalam laporannya yang terbaru berjudul Corporate Tax Statistics – Third Edition menyatakan Pilar 2 konsensus perpajakan internasional dibutuhkan bagi negara-negara berkembang. Sebab, kontribusi penerimaan pajak korporasi harus menjadi tulang punggung penerimaan negara, sejalan dengan peningkatan belanja untuk mengakselerasi ekonomi.

OECD juga mencatat adanya ketidaksesuaian antara lokasi penghasilan dilaporkan dan lokasi aktivitas perekonomian dilaksanakan. Hal ini mengindikasikan adanya praktik penggerusan basis dan pergeseran laba yang sering kali dilakukan oleh korporasi multinasional, tak terkecuali bagi Indonesia.

OECD menegaskan proposal yang telah digadang-gadang sejak tahun 2018 lalu akan banyak memberikan keuntungan bagi semua negara di dunia untuk bisa mendapatkan hak pemajakan, sehingga menambah pundi-pundi penerimaan pajak.

Adapun data Bank Dunia mencatat tahun lalu praktik BEPS setidaknya berpotensi merugikan negara-negara secara global diperkirakan sebesar US$ 100 miliar hingga US$ 240 miliar, atau setara dengan  4% sampai dengan 10% produk domestik bruto (PDB) global.

Sejalan, pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan dengan adanya Pilar 2, mayoritas negara akan diuntungkan karena risiko revenue forogone dari praktik pengalihan laba dan tekanan kompetisi pajak akan berkurang. Namun demikian, bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, skema ini juga bisa menyebabkan berkurangnya daya tarik mereka sebagai negara tujuan investasi.

Dari sisi kebijakan carve-out, Bawono mengatakan secara konsep rencananya hanya akan diterapkan bagi sebagian kecil laba perusahaan multinasional yakni sebesar 5%-7,5% dari laba dengan asumsi selebihnya, yakni 2,5% merupakan excess profit yang diperoleh dari aset tidak berwujud.

Oleh karena itu, Bawono menilai ada baiknya Indonesia perlu memperjuangkan negosiasi persentase carve out yang lebih besar. Hal ini untuk menjamin bahwa masih ada keleluasaan bagi Indonesia untuk memberikan insentif bagi perusahaan multinasional yang memang memiliki kegiatan ekonomi yang substantif.

“Jika tidak, keleluasaan kita meningkatkan daya tarik melalui sistem pajak akan kian terbatas,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Jumat (30/7).