OMNIBUS LAW : Manjurkah Penurunan Tarif Pajak Penghasilan?

26 December 2019

 Bisnis Indonesia, Kamis, 26/12/2019 02:00 WIB

Wacana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) kembali mengemuka seiring dengan pengumuman rencana amandemen kebijakan perpajakan oleh pemerintah melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.

Demi meningkatkan daya saing perekonomian nasional dan menarik investasi, RUU dengan format omnibus bill ini menjanjikan penurunan tarif PPh Badan secara bertahap dari yang semula 25% menjadi 22% untuk tahun 2021 dan 2022. Kemudian 20% pada 2023 dan seterusnya serta tambahan diskon tarif sebesar 3% untuk perusahaan yang baru melakukan go public.

RUU ini juga mengubah sistem pemajakan Indonesia dari yang semula berbasis worldwide income menjadi hybrid-territorial dengan menghapus repatriation tax atas dividen yang diterima dari luar negeri setelah memenuhi jangka waktu investasi di Indonesia serta penerapan source principle atas penghasilan subjek pajak orang pribadi berkewarganegaraan asing.

Penurunan tarif PPh korporasi dan pergeseran sistem pemajakan menuju territorial basis memang sedang menjadi tren global sejak inisiatif Amerika Serikat untuk memangkas tarif PPh korporasinya dari 35% menjadi 21% serta adopsi sistem pemajakan hybrid-territorial melalui Tax Cuts and Jobs Act pada 2017. Reformasi pajak Amerika Serikat kemudian mendorong negara-negara lain untuk melakukan inisiatif serupa. India, misalnya, telah memotong tarif PPh korporasinya dari 30% menjadi 22% sejak April 2019.

Begitu juga negara-negara Eropa seperti Perancis, Swedia, Luksemburg, Norwegia, Belanda, dan Yunani masing-masing sebesar 1%-3% pada 2019. Selanjutnya, Australia berencana untuk menurunkan tarif PPh korporasinya dari semula 30% ke rata-rata tarif negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sebesar 25% pada 2020.

Tren penurunan tarif pajak korporasi harus dilihat dalam konteks kompetisi untuk menarik dana investasi secara global dan regional. Dalam perspektif ini, tarif PPh Indonesia sebenarnya masih dalam posisi moderat. Secara global, merujuk pada catatan OECD dalam Tax Policy Reforms 2019, rata-rata tarif PPh korporasi di dunia saat ini 23,5%, hanya 1,5% lebih rendah dari tarif PPh Badan Indonesia. Selanjutnya, untuk kawasan Asia Tenggara, rata-rata tarif PPh korporasi negara anggota Asean sebesar 22,35% dimana tarif PPh Badan Indonesia lebih rendah dari Filipina (30%) dan sama dengan Myanmar (25%). Namun, tarif PPh Indonesia lebih tinggi daripada Malaysia (24%), Thailand (20), Vietnam (20%), Kambodia (20%), Brunei (18,5%), dan Singapura (17%).

Menurunkan tarif pajak merupakan kebijakan yang populer dan memberikan banyak manfaat bagi perekonomian nasional. Berbagai studi empiris memberikan justifikasi manfaat penurunan tarif PPh berupa peningkatan nilai ekspor dan produk domestik bruto, karena perusahaan multinasional menetapkan harga transfer yang lebih tinggi untuk transaksi intra-group dari negara dengan tarif pajak rendah ke negara dengan tarif pajak lebih tinggi demi meminimalisasi beban pajak secara global (Guvenen, 2017).

Manfaat ekonomi lain termasuk peningkatan registrasi kekayaan intelektual dan penghasilan royalti (Dischinger dan Riedel, 2011), penurunan utang luar negeri, terutama intercompany loans korporasi (Fuest et al., 2011), dan peningkatan repatriasi penghasilan akibat berkurangnya insentif ekonomi untuk menunda pembagian dividen dari luar negeri (Egger et al., 2015; Hasegawa dan Kiyota, 2017).

Diluar berbagai manfaat ekonomi dari penurunan tarif pajak, mengingat tarif PPh Badan Indonesia masih berada dalam kategori moderat secara global dan regional, penurunan tarif secara gradual sepertinya tidak akan serta-merta memberikan manfaat bagi perekonomian nasional tanpa dibarengi dengan perbaikan di aspek-aspek kemudahan berusaha lainnya.

Berbagai survei terhadap para eksekutif perusahaan multinasional (diantaranya Ernst and Young, 2013; AT Kearney, 2019) menunjukan bahwa pajak bukanlah faktor utama dalam menentukan lokasi investasi yang mengindikasikan pemindahan investasi untuk mengambil manfaat ekonomi dari selisih tarif pajak antara negara asal dan tujuan investasi (tax arbitrage strategy) sebagai respon atas penurunan tarif PPh tidak akan terjadi secara masif.

Selanjutnya, pemerintah perlu menentukan tahapan dan nominal penurunan tarif dengan cermat agar tidak terjebak dalam ‘perang tarif’ (race to the bottom) yang kontraproduktif bagi perekonomian. Satu aspek yang harus menjadi prioritas, sebagai komplementer penurunan tarif PPh Badan, adalah perbaikan tata laksana pemerintahan dan penegakan hukum.

Studi dari Dharmapala dan Hines (2009) memberikan argumen empiris bahwa banyak negara menurunkan tarif pajaknya tapi gagal untuk mendapatkan manfaat ekonomi yang diharapkan akibat buruknya tata laksana (terutama kualitas peraturan dan efektifitas fungsi pemerintahan) dan penegakan hukum (terutama pemberantasan korupsi). Sebuah poin penting karena hanya negara dengan tata laksana yang baik mampu meyakinkan investor demi terjaganya pengelolaan ekonomi makro yang kredibel serta komitmen untuk tidak melakukan ekspropriasi (langsung maupun tak langsung melalui regulasi).

Penurunan tarif PPh Badan dapat menjadi ‘resep’ yang manjur untuk mengatasi stagnasi perekonomian nasional dalam beberapa tahun terakhir. Namun pemerintah perlu melakukannya dengan cermat serta dibarengi dengan perbaikan tata laksana dan penegakan hukum secara berkelanjutan.