TARIF BARANG KIRIMAN : Tiga Produk Dapat Perlakuan Khusus

26 December 2019

Bisnis Indonesia, Kamis, 26/12/2019 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah memberikan perlakuan khusus untuk impor barang kiriman sepatu, tas, serta tekstil dan produk tekstil terkait dengan kebijakan pembebasan bea masuk atau de minimis value.

Ketentuan ini merupakan salah satu bagian dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang de minimis value yang akan diajukan ke Kementerian Hukum dan HAM.

Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi mengatakan, perlakuan khusus ini diterapkan untuk melindungi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Dengan demikian, pemerintah tetap memberlakukan de minimis value US$3 untuk ketiga produk tersebut. Ketiganya juga dikenakan tarif normal yakni bea masuk untuk tas 15%-20%, sepatu 25%-30%, TPT 15%-25%, PPN 10%, dan PPh 7,5%-10%.

“Dengan adanya aturan ini, diharapkan fasilitas de minimis value benar-benar dapat dimanfaatkan untuk keperluan pribadi dan dapat mendorong masyarakat untuk lebih menggunakan produk dalam negeri,” kata Heru, Senin (25/12).

Dia menambahkan, tarif impor lebih tinggi dikenakan untuk melindungi produk dari dalam negeri. Adapun, kebijakan tersebut diambil dengan memerhatikan masukan yang disampaikan oleh para pelaku usaha.

Selama ini, konsumen di Tanah Air menggemari produk tas, sepatu, dan TPT dari luar negeri. Alhasil, banjir impor tak terbendung yang pada akhirnya memukul produsen dalam negeri.

Dalam kebijakan yang disusun, pemerintah juga akan menurunkan de minimis value bea masuk impor barang kiriman dari sebesar US$75 menjadi US$3 per consignment note (CN).

Langkah ini dilakukan untuk menciptakan level playing field antara pelaku usaha dagang-el dengan konvensional. Terlebih, jumlah dokumen dan nilai impor barang kiriman sejak 2017 terus meningkat. (Lihat infografis)

Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Arif Baharudin mengatakan bahwa secara rata-rata barang yang masuk melalui mekanisme impor barang kiriman tercatat hanya sebesar US$3,8 per CN.

Dengan ini, banyak impor barang kiriman yang tidak dikenai bea masuk. Oleh karena itu, perlu diadakan penyesuaian de minimis value.

“Kita sudah benchmarking dan bahkan ada beberapa negara yang tanpa de minimis value seperti Kosta Rika dan El Salvador,” ujar Arif.

Sebagai pembanding, negara-negara yang tidak menetapkan de minimis value antara lain Kosta Rika, El Salvador, Bangladesh, dan Paraguay.

Negara lain seperti Liberia, Ghana, dan Madagaskar menetapkan de minimis value lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia, yakni US$2.

Selain itu, de minimus value pajak dalam rangka impor (PDRI) juga diturunkan dari US$75 per CN menjadi tanpa de minimus value.

Sebagai kompensasi atas turunnya de minimis value bea masuk dan PDRI, Kementerian Keuangan melakukan rasionalisasi tarif dari 27,5%-37,5% yang terdiri dari bea masuk sebesar 7,5%, PPN 10%, PPh 10% bagi pemegang NPWP atau PPh 20% bagi yang tidak memiliki NPWP, menjadi 17,5% dengan perincian bea masuk 7,5%, PPN 10%, dan PPh 0%.

Di sisi lain, Ditjen Bea Cukai juga menggandeng platform dagang-el dalam hal penyeragaman sistem. Melalui mekanisme ini, praktik under invoice dan missdeclaration dapat diminimalisasi, serta tidak ada lagi perbedaan data antara deklarasi impor barang kiriman dengan angka riil.

Saat ini, Ditjen Bea Cukai sudah melaksanakan piloting sharing data dengan 3 platform dagang-el, yakni Lazada, Blibli, dan Bukalapak.

Public Policy and Government Relations Manager Indonesia E-Commerce Association (idEA) Rofi Uddarojat mengatakan, pihak-nya akan melalukan kajian lebih lanjut mengenai kebijakan ini.

Rofi juga menegaskan bahwa transaksi crossborder melalui dagang-el secara proporsi tidak mencapai 10% dari keseluruhan transaksi.

Artinya, sebagian besar barang yang diperdagangkan merupakan produk lokal ataupun barang impor yang sudah masuk sebelum terjadinya transaksi di dagang-el.