Omnibus Law Perpajakan Atur Pemajakan Transaksi Digital

17 December 2019

Bisnis.com 17 Desember 2019  |  11:08 WIB

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah tengah merancang Undang-Undang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau Omnibus Law Perpajakan yang rencananya bakal segera diserahkan ke DPR.

Salah satu substansi pembahasan RUU ini mencakup perlakukan perpajakan terhadap transaksi digital.

Dalam draf awal RUU tersebut pemerintah menyebut pengenaan pajak transaksi digital dikenakan atas transaksi barang atau jasa dari luar negeri kepada pembeli Indonesia yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri secara langsung atau platform luar negeri.

Rancangan beleid yang diterima Bisnis.com ini juga mengungkapkan bahwa mekanisme pentarifan atas transaksi luar negeri itu akan diatur dalam Peraturan Pemerintah atau PP.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo saat dikonfirmasi Bisnis.com belum lama ini tak menampik substansi soal pemajakan atas transaksi digital. Hanya saja, kemungkinan perubahan masih ada apalagi waktu itu pembahasan RUU terus dimatangkan.

“Ya enggak tahu itu tergantung nanti,” kata Suryo singkat.

Suryo mengungkapkan dalam pemajakan pajak penghasilan, pemerintah dalam posisi menunggu solusi jangka panjang dari OECD yang kalau sesuai dengan rencana akan ditetapkan pada 2020.

“Ya nanti kita lihat seperti apa, katanya sih kalau menunggu long term solution pada 2020,” imbuhnya.

Suryo mengatakan sebagai kompensasi dari langkah tersebut, pemerintah saat ini tengah menyiapkan omnibus law perpajakan.

Omnibus perpajakan meski belum menjangkau ketentuan penghasilan (PPh) bagi perusahaan digital, tetapi dengan substansi yang ada saat ini akan mampu mengoptimalkan penerimaan dari aspek PPN-nya.

“Jadi untuk PPh belum bisa dipastikan. Yang jelas kami bagian yang menunggu long term solution itu,” tegasnya.

Sementara itu, Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mencatat setidaknya ada tiga catatan untuk omnibus terkait PPh digital. Pertama, walau proposal OECD terkait 2 pilar akan menguntungkan Indonesia namun perlu diwaspadai konsensus tidak akan tercapai.

Kedua, dalam konteks aksi unilateral di mana sistem pajak internasional masih merujuk pada status BUT yang berbasis kehadiran fisik, perluasan definisi BUT dalam omnibus law pada dasarnya juga menjadi salah satu cara untuk menghindari adanya benturan dengan P3B.

“Karena pada umumnya scope P3B hanya terkait terkait UU PPh. Artinya pengaturan melalui PPh rentan untuk ‘dibatalkan’ oleh P3B,” ungkapnya.

Ketiga, pengaturan PPh atas digital dalam omnibus law seharusnya tidak hanya memperluas status BUT tetapi juga bagaimana menjamin tax base yang merefleksikan alokasi laba yang lebih adil.

Seperti diketahui, di tengah waktu yang makin mepet, sejumlah pihak mengaku pesimis jika konsesus terkait pemajakan ekonomi digital bisa dihasilkan tahun depan.

Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) akhir Juni 2020 bisa memberikan solusi terkait masa depan pemajakan ekonomi digital.

Organisasi tersebut telah berkirim surat ke Menkeu Amerika Serikat untuk mengagendakan pertemuan guna membahas ekonomi digital. Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria berharap dengan adanya pertemuan tersebut, kedua negara bisa mencari solusi di tengah pesimisme dan aksi unilateralisme yang marak terjadi.

Di satu Wakil Direktur Pusat Kebijakan dan Administrasi Pajak OECD Grace Perez Navaro mengakui upaya menciptakan konsesus global terkait pemajakan digital memang bukan perkara yang mudah. Apalagi, dengan komposisi negara yang memiliki posisi yang berbeda-beda.

Namun demikian, dia menyadari tanpa adanya konsesus ada beberapa risiko yang bakal dihadapi. Oleh karena itu, untuk menghindari kondisi yang tidak diinginkan, OECD melalui Task Force on Digital Economy (TFDE) bakal segera membuat solusi paling tidak sampai dengan akhir Juni 2020.

“Jika sampai kita tidak mencapai konsensus, ruang tindakan sepihak ini terus menyebar. Dan itulah mengapa kami bekerja sekeras mungkin supaya bisa memberikan solusi secepat mungkin,” kata Grace.