OPTIMALISASI PENERIMAAN, Otoritas Pajak Bidik Crazy Rich

09 March 2021

BisnisIndonesia, Selasa, 09/03/2021 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah bakal menyasar masyarakat kaya dan superkaya atau wajib pajak strategis (high-wealth individual) sebagai sumber pendapatan baru di tengah seretnya prospek penerimaan pajak pada tahun ini akibat ekonomi yang terimpit pandemi Covid-19.n

Otoritas fiskal dalam Laporan Kinerja Ditjen Pajak 2020 mencatat, high-wealth individual (HWI) disasar karena besarnya potensi dan kedudukannya sebagai beneficial owner dari seluruh bisnis usaha yang dijalankan.

Ditjen Pajak menjadikan hal ini sebagai salah satu arah kebijakan pada rencana strategis 5 tahun ke depan.

Kegiatan optimalisasi pengawasan wajib pajak strategis ini akan diarahkan pada beberapa program, yaitu peningkatan kompetensi sumber daya manusia di bidang pengawasan dan melanjutkan program penyempurnaan aplikasi Approweb.

“Upaya extra effort juga dilakukan melalui pembuatan Laporan Penelitian Awal wajib pajak sektoral yaitu wajib pajak HWI,” tulis Ditjen Pajak dalam Laporan Kinerja 2020 yang dikutip Bisnis, Senin (8/3).

Arah kebijakan Ditjen Pajak ini menghadapi tantangan yang cukup berat. Salah satunya adalah adanya dugaan bahwa penghasilan yang dilaporkan oleh wajib pajak strategis dengan penghasilan yang dilaporkan kepada otoritas pajak tidak linier.

Namun, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor optimistis pemerintah bisa mendeteksi seluruh kekayaan dari wajib pajak kelas ini.

Musababnya, populasi masyarakat yang tergolong HWI sangat terbatas. “Kalau kita berbicara tentang wajib pajak yang tergolong HWI tentu populasinya tidak terlalu banyak. Jadi siapa-siapanya dapat kita deteksi,” kata dia kepada Bisnis.

Neil menambahkan Ditjen Pajak juga akan memaksimalkan penggunaan data yang didapat dari pihak ketiga.

Seperti diketahui, sesuai dengan UU No. 9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, Ditjen Pajak menerima informasi dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain. Informasi bisa berupa data keuangan atau kepemilikan harta, dan sebagainya.

“Sumber informasi itu yang menjadi salah satu dasar bagi kami untuk menilai kepatuhan wajib pajak-wajib pajak terkait,” kata dia.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto mengatakan pemerintah memang perlu melakukan penelusuran dari kondisi riil kekayaan wajib pajak kaya maupun superkaya.

Menurutnya, selama ini realisasi penerimaan pajak dari masyarakat kelas ini masih jauh dari potensi. Hal itu bisa dilihat dari data kepatuhan PPh 25/29 orang pribadi nonkaryawan. (Lihat infografik).

Wahyu menambahkan otoritas pajak memang cukup leluasa memanfaatkan data dari pihak ketiga.

Namun, Ditjen Pajak seolah kurang maksimal dalam memanfaatka data yang tersaji dalam program pengampunan pajak atau tax amnesty.

“Deklarasi harta wajib pajak yang menyimpan asetnya di luar negeri sudah optimal belum followup-nya? realisasi secara nominal yang masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan nilai deklarasi harta saat tax amnesty,” ujarnya.

PAJAK FINAL

Di sisi lain, kebijakan agresif ini bisa kontraproduktif jika pemerintah masih mempertahankan rezim pajak penghasilan (PPh) Final.

Sebab, masyarakat kelas ini menjadi kelompok yang paling banyak menikmati tarif pajak final.

Rezim PPh Final sebenarnya telah banyak dikritik. World Bank pada tahun lalu merilis laporan tentang skema dan pengenaan tarif pajak final untuk sektor konstruksi dan real estat di Indonesia.

World Bank mencatat mengembalikan rezim ke PPh Badan yang berlaku umum akan meningkatkan transparansi dan memastikan peningkatan ekuitas horizontal lintas sektor.

Merujuk pada UU PPh, penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah serta bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estat, dan persewaan tanah bangunan dapat dikenai pajak secara final.

Bisnis mencatat, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pada tahun lalu juga sempat memaparkan risiko jangka panjang terkait dengan rezim pajak final.

Sektor pertanian dan konstruksi, misalnya, yang memiliki kontribusi besar dalam struktur produk domestik bruto (PDB).

Akan tetapi, kontribusi keduanya terhadap penerimaan pajak masih sangat terbatas. BKF menyimpulkan, dua sektor ini cenderung under tax karena adanya kebijakan exemption dan rezim pajak final.