Pajak Karbon bisa memperburuk ekonomi

26 July 2021

Minggu, 25 Juli 2021

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah berencana untuk menarik pajak karbon sebagai sumber baru penerimaan negara ke depan. Namun, implementasinya diyakini justru dapat memperburuk perekonomian Indonesia.

Rencana pengenaan pajak karbon diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUUP tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Beleid ini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama dengan Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI.

Adpaun pemerintah berencana menarik pajak karbon sebesar Rp 75 per kilogram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Pajak tersebut rencananya akan dikenakan kepada sektor hilir pencetak karbon.

 

Dalam Naskah Akademik RUU KUP mengkaji untuk melihat dampak penerapan pajak karbon terhadap keuangan negara, pemerintah simulasi tarif terhadap konsumsi bahan bakar pada sektor pembangkit, industri, transportasi, dan plastik.

Hasilnya, dari data konsumsi menggunakan data tahun 2020 dengan asumsi penggunaan batu bara pada sektor pembangkit listrik dan industri, penggunaan solar dan bensin pada sektor transportasi tersebut, pemerintah bisa meraup Rp 31,91 triliun untuk penerimaan negara.

Kendati begitu, pemerintah tidak memungkiri, dari sisi makro, implementasi pajak karbon secara teknis akan mengakibatkan harga energi lebih tinggi. Efektivitas penerapannya bergantung pada besaran tarif yang dikenakan.

Hasil simulasi yang dilaksanakan dalam rangka penyusunan Naskah Akademi RUU KUP menunjukkan bahwa pajak karbon menimbulkan tekanan negatif bagi perekonomian.

Jika kebijakan tersebut dijalankan tanpa adanya aksi tindak lanjut atau follow-up action yang terukur, maka akan menimbulkan tekanan negatif terhadap semua variabel makroekonomi.

Hasil analisa menunjukkan bahwa produk domestic bruto (PDB), konsumsi riil, dan tenaga kerja (employment) diprediksi akan terlebih rendah.

Keluaran (output) nasional diprediksi akan tumbuh 0,06% lebih rendah dibandingkan kondisi normal atau business as usual (BAU) pada tahun 2022 meskipun penerapan pajak karbon dilakukan secara bertahap yakni US$ 3 per ton CO2e pada tahun 2022, US$ 6 per ton CO2e pada tahun 2023, US$ 12 per ton CO2e pada tahun 2024.

Di sisi lain, seiring dengan peningkatan tingkat pajak pada tahun 2023 dan 2024, jarak (gap) antara pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan pajak karbon diprediksi akan semakin lebar menjadi 0,12% dan 0,29% lebih rendah dibandingkan dengan kondisi BAU pada kedua tahun tersebut.

Pada periode-periode selanjutnya, meski besaran pajak karbon dipertahankan tetap pada level US$ 12 per ton CO2e, dampak terhadap pertumbuhan ekonomi tidak menghilang, bahkan diprediksi akan semakin besar.

Pada tahun 2030, ekonomi Indonesia diprediksi akan tumbuh 0,58% lebih rendah dibandingkan kondisi BAU jika Indonesia menerapkan pajak karbon tanpa adanya follow-up actions.

Dampak yang lebih besar diprediksi akan terjadi pada konsumsi riil, di mana kebijakan pajak karbon diprediksi akan mengakibatkan konsumsi riil jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi BAU.

Besaran konsumsi riil diprediksi akan 0,417% lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi BAU pada tahun 2022, dan gap tersebut terus melebar hingga mencapai 1,97% pada tahun 2030.

Sejalan dengan peningkatan pajak karbon pada tahun 2023 sebesar 2 kali lipat, konsumsi riil diprediksi akan terkoreksi menjadi hampir 2 kali lipat, yakni sebesar 0,842% lebih rendah dibandingkan kondisi BAU.

Sementara itu, tingkat employment Indonesia diprediksi akan terkoreksi sebesar 0,17% lebih rendah dibandingkan kondisi BAU pada tahun 2022.

“Mempertimbangkan adanya potensi dampak yang negatif terhadap tiga variabel kunci makroekonomi, maka kebijakan pajak karbon memerlukan adanya follow-up actions,” sebagaimana dikutip dalam NA RUU KUP.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meyakini, seluruh negara memiliki tujuan yang sama terkait perubahan iklim, untuk mengurangi dampak ekonomi yang ditimbulkan dan menciptakan perekonomian yang lebih ramah lingkungan serta berkelanjutan. Nah salah satu cara dengan intervensi harga karbon.

 

“Banyak yang percaya itu (harga karbon) berkontribusi untuk mengurangi emisi dan pada saat yang sama menggerakkan sumber finansial untuk perubahan iklim. Ini juga bisa menjadi mekanisme yang efektif untuk dekarbonisasi tanpa membatasi pertumbuhan ekonomi,” kata Menkeu belum lama ini.

Anggota Komisi XI DPR RI Vera Febyanthy mencermati terkait usulan rencana penerapan pajak karbon dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Menurutnya seiring kebutuhan zaman, maka diperlukan peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif.

“Saat ini memang belum ada ketentuannya. Sementara Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca kurang lebih 29%  hingga tahun 2030. Kami mendukung perlu adanya pengaturan dan pengendalian terkait emisi tersebut,” ujar Vera.

Lebih lanjut politisi Fraksi Partai Demokrat tersebut mengatakan, fraksinya mendukung perlunya pemecahan atas masalah karbon tersebut. Ia pun menyatakan bahwa sudah seharusnya di masa depan ada upaya mendorong penggunaan energi terbarukan.