Pajak Progresif dan Kepedulian Sosial Kita

23 January 2023

Muhammad Nur – detikNews

Jumat, 20 Jan 2023

Jakarta –

Penerimaan perpajakan menjadi salah satu sumber penerimaan negara terbesar dalam APBN. Pajak yang dibayarkan oleh berbagai lapisan masyarakat, baik orang pribadi maupun badan memiliki fungsi penting bagi APBN untuk membiayai operasional pemerintahan, program-program pembangunan, serta subsidi dan bantuan sosial (bansos). Sejak 2021, penerimaan pajak negeri ini mengalami pertumbuhan yang baik bahkan melampaui target penerimaan yang ditetapkan dalam Perpres APBN.

Penerimaan pajak 2022 lalu bahkan mengalami pertumbuhan sebesar 34,3% dibanding 2021, dengan jumlah sebesar Rp. 1.717,8 triliun atau 115,6% dari target dalam Perpres 98/2022. Realisasi penerimaan ini tentu menjadi sebuah kabar gembira bahwa pemulihan ekonomi nasional yang dicanangkan pemerintah sejak era pandemi telah menemui titik terang. Berbagai sektor telah mampu pulih, bergerak, dan menyumbang penerimaan negara serta pertumbuhan ekonomi nasional.

Menteri Keuangan menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang stabil pada kisaran angka 5% pada 2022 terjadi pada banyak sektor sektor, seperti pertanian, pertambangan, manufaktur, konstruksi, perdagangan, transportasi, akomodasi, serta makanan dan minuman (ekonomi.bisnis.com, 3/1/2023).

Namun demikian, mungkin masih ada anggapan bahwa pajak yang dibayarkan kepada negara sebagian besar hanya digunakan untuk membayar gaji ASN saja. Apalagi dengan berlakunya pajak progresif, seperti pajak kendaraan dan pajak penghasilan (PPh), ada asumsi bahwa orang kaya/lebih mampu harus membayar lebih besar sementara mereka tidak menikmati manfaat langsung dari pajak-pajak yang telah mereka bayarkan.

Pun demikian perihal kebijakan PPh progresif. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menyebutkan bahwa terdapat beberapa penggolongan penghasilan kena pajak dengan tarif 5% untuk penghasilan hingga 60 juta, 15% untuk penghasilan Rp 60 juta – 250 juta, 25% untuk penghasilan Rp 250 juta – 500 juta, 30% untuk penghasilan Rp 500 juta – 5 miliar, dan 35% untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar. Penggolongan tarif ini sekilas terlihat tidak adil dan memberatkan. Namun mungkin tidak sepenuhnya demikian.

Keadilan dalam konteks ini perlu dipahami secara proporsional, bahwa kalangan yang berpenghasilan lebih besar juga perlu memberikan kontribusi yang lebih besar. Perlu diingat pula bahwa perhitungan pembayaran PPh tidak secara langsung berdasarkan penghasilan bruto. Masih ada komponen pengurang, seperti biaya jabatan, iuran pensiun, iuran BPJS, dan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Jadi walaupun secara persentase seolah besar namun dari perhitungan PPh yang benar, maka besaran rupiah pajak yang dibayarkan tidak sebesar yang dibayangkan diawal.

Berikutnya perlu dipahami bahwa penerimaan negara digunakan untuk banyak hal selain gaji aparatur. Masih banyak fungsi-fungsi lain yang dibiayai oleh APBN, seperti pembangunan infrastruktur, Dana Desa, serta subsidi dan bansos. Secara langsung maupun tidak langsung, sebenarnya kita semua telah menikmati manfaat APBN. Contoh, jalan-jalan raya, jalan tol, jembatan, waduk, bendungan dan irigasi, dan terminal, stasiun, bandara, penerangan jalan, dan masih banyak lagi fasilitas umum yang telah kita gunakan dan nikmati sehari-hari.

Fasilitas umum tadi sebagian atau seluruhnya dibiayai oleh APBN. Belum lagi jika kita membicarakan mengenai subsidi dan bansos, yang manfaatnya tentu diarahkan untuk diberikan kepada lapisan masyarakat rentan atau kurang mampu. Di sinilah kita perlu berasumsi dan berpikir bahwa uang pajak yang telah kita bayarkan kepada negara juga memiliki fungsi keadilan sosial, pemerataan, dan mengurangi ketimpangan.

Subsidi dan bansos yang diberikan pemerintah melalui APBN dalam bentuk seperti Program Keluarga Harapan (PKH), BLT minyak goreng, BLT Dana Desa, BLT Covid-19, Kartu Prakerja, Kartu Indonesia Pintar, Bantuan Subsidi Upah (BSU), dan subsidi bunga KUR tentu ditujukan bagi cita-cita keadilan sosial itu.

Selama masa pandemi, berbagai program subsidi dan bansos menjadikan APBN sebagai shock absorber dari gejolak kenaikan harga serta dampak dari lumpuh dan lesunya kegiatan ekonomi masyarakat akibat pandemi. Harapannya adalah daya beli masyarakat dapat tetap terjaga, yang kemudian pada gilirannya akan memutar kembali roda ekonomi di semua levelnya.

Dengan sudut pandang ini, kita mungkin perlu menyadari bahwa kontribusi kita pada APBN dengan pajak yang kita bayarkan dan kegiatan ekonomi yang telah kita jalankan telah memberi dampak pada lapisan masyarakat lain, terutama masyarakat rentan dan kurang mampu. Ketika daya beli mereka terjaga via belanja subsidi dan bansos yang digulirkan pemerintah melalui APBN, maka sejatinya kita telah turut berperan dalam aspek kepedulian sosial kita kepada masyarakat rentan dan kurang mampu. Artinya, dalam setiap rupiah subsidi dan bansos itu, sedikit atau banyak, ada uang pajak yang telah kita setorkan ke kas negara.

Kita juga perlu berpikir bahwa kita tidak harus semerta-merta menagih manfaat langsung/instan dari pajak yang telah kita bayarkan. Bagaimanapun, telah banyak manfaat APBN yang kita terima. Kita baiknya juga percaya bahwa APBN tidak akan digunakan secara sembarangan.