PENERIMAAN NEGARA: Redup Komoditas Bayangi Konsolidasi Fiskal

10 August 2022

Tegar Arief
Selasa, 09/08/2022 02:00 WIB

Bisnis – Langkah pemerintah menuju konsolidasi fiskal menghadapi batu sandungan. Sebab, kilau harga komoditas yang belakangan menjadi primadona dan ‘juru selamat’, diperkirakan bakal meredup di tahun depan.

Sejak medio tahun lalu, menanjaknya harga sejumlah komoditas memang menjadi juru selamat penerimaan negara. Di antaranya minyak, gas, batu bara, kelapa sawit, hingga nikel.

Tak pelak, pundi-pundi yang dikumpulkan negara pun tumpah ruah. Kendati kondisi ini berkorelasi dengan besarnya subsidi yang dikucurkan, pemerintah masih tetap tenang.

Maklum, pembengkakan subsidi masih dapat mampu dipenuhi dengan windfall alias durian runtuh dari meroketnya harga komoditas sumber daya alam (SDA) tersebut.

Akan tetapi, dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, pemangku kebijakan mulai kesulitan untuk mempertahankan keleluasaan fiskal.

Harga sejumlah komoditas diprediksi tak lagi berpendar sebagaimana tahun lalu dan tahun ini, sementara tuntutan untuk menggelembungkan subsidi dan kompensasi terutama di sektor energi masih cukup tinggi.

“Pendapatan negara tahun depan memang perlu untuk kita perhatikan. Mungkin tidak akan berulang atau tidak akan setinggi tahun ini,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat memberikan keterangan pers seusai Sidang Kabinet di Kantor Presiden, Senin (8/8).

Menkeu memerinci, booming komoditas pada tahun ini berkontribusi pada penerimaan negara di sektor pajak hingga mencapai Rp279 triliun. Dari sisi kepabeanan, otoritas fiskal mengantongi dana segar senilai Rp48,9 triliun yang disetor melalui bea keluar.

Persoalannya, buah manis ini tak lagi bisa dipetik oleh pemerintah pada tahun depan. Menkeu pun mengestimasi terjadi penurunan harga minyak yang saat ini di kisaran US$95—US$100 per barel menjadi US$90 per barel pada tahun konsolidasi fiskal.

Harga batu bara yang saat ini di posisi US$255 per ton, tahun depan pun ditaksir hanya mencapai US$200 per ton, sedangkan crude palm oil (CPO) yang saat ini di harga US$1.350 per metrik ton diperkirakan turun menjadi US$1.000 per metrik ton pada tahun depan.

Sementara itu, subsidi dan kompensasi yang dikucurkan pemerintah melalui APBN 2022 Perubahan mencapai Rp502 triliun.

Tahun depan pun, angka subsidi yang dirumuskan pemerintah tak banyak berubah dengan mempertimbangkan masih besarnya intervensi fiskal terhadap kebutuhan energi dan pangan masyarakat.

“Tahun depan beberapa subsidi dari barang yang diatur pemerintah akan dicoba untuk distabilkan dengan konsekuensi subsidi yang meningkat,” ujar Menkeu.

Di sisi lain, belanja kementerian/lembaga (K/L) pun dialokasikan lebih tinggi yakni dari Rp977,1 triliun menjadi Rp993 triliun yang akan berfokus pada kebutuhan infrastruktur dan program prioritas nasional.

Belanja yang mengembang pun sejatinya bukan tanpa alasan. Maklum, tahun depan pemerintah memiliki segudang kebutuhan yang wajib dituntaskan.

Pertama, pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang sebagian pengerjaannya bersumber dari APBN. Kedua, infrastruktur yang sempat tertunda lantaran pandemi Covid-19. Ketiga, persiapan pemilihan umum (Pemilu) yang juga menguras kantong negara.

Sementara itu, pemerintah hanya memiliki dua opsi untuk menghimpun dana guna memenuhi kebutuhan belanja tersebut.

Pertama, menggali penerimaan baik dari sisi pajak, bea, cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kedua, penarikan utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

Sayangnya, burden sharing antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) harus berakhir pada tahun ini, sehingga membatasi keleluasaan pemerintah untuk menarik utang.

Alhasil, penerimaan wajib digenjot sehingga kebutuhan belanja tetap terpenuhi tanpa menggangu arah konsolidasi fiskal.

“Pemerintah harus fokus dengan penerimaan negara yang sustain, sehingga konsolidasi fiskal bisa berjalan dengan baik,” kata Anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan Ajib Hamdani.

Menurutnya, APBN 2023 memang harus disusun dengan proper dan prudent. Musababnya, pemerintah tak lagi bisa menggunakan instrumen dalam UU No. 2/2020 yang membatasi pelonggaran defisit fiskal hanya berlaku sampai tahun ini.

Kunci dari konsolidasi fiskal itu, kata Ajib, adalah menjaga konsistensi pertumbuhan ekonomi minimal sebesar 5% pada tahun ini, sehingga menciptakan momentum untuk terus bertumbuh pada tahun depan.

“Dengan pertumbuhan ekonomi yang terus naik, maka potensi penerimaan akan aman dan bisa tercapai,” ujarnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet berpendapat, kunci mengejar konsolidasi fiskal ada pada strategi pemerintah dalam mengejar target penerimaan.

Persoalannya, performa penerimaan pada tahun depan memang cukup menantang karena secara historis pemerintah amat mengandalkan komoditas sebagai sumber utama kas negara.

“Melonjaknya penerimaan negara selalu disumbang karena faktor windfall seperti yang terjadi pada 2018 dan 2021,” ujarnya.

Pemerintah pun sesungguhnya menyadari besarnya batu sandungan tersebut. Oleh karena itu, APBN 2023 mengakomodasi adanya skema berbagi beban alias burden sharing antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Dalam kondisi tertentu pemerintah dapat memperhitungkan persentase tertentu atas peningkatan belanja subsidi energi dan/atau kompensasi terhadap kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam (SDA) yang dibagihasilkan.

Adapun, yang dimaksud dengan kondisi tertentu adalah pertama kenaikan PNBP SDA yang dibagihasilkan. Kedua, realisasi PNBP SDA yang dibagihasilkan. Ketiga, peningkatan belanja subsidi energi dan/atau kompensasi.

Singkat kata, burden sharing dilaksanakan dengan memangkas atau meniadakan dana bagi hasil (DBH), yang kemudian anggaran tersebut dialokasikan untuk subsidi dan kompensasi energi.

Persoalannya, kapasitas fiskal masing-masing daerah berbeda. Inilah yang kemudian melahirkan polemik. “Karena daerah memiliki tantangan yang berbeda,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman.

Harus diakui, tak mudah mendesain APBN di tengah derasnya ketidakpastian global. Akan tetapi, sudah menjadi tugas pemerintah untuk menjamin fiskal adaptif dan responsif terhadap segala tantangan yang mengadang.

Editor : Stefanus Arief Setiaji