Penerimaan PPh Migas mengalami kontraksi di tengah kenaikan harga minyak global

29 April 2021

Rabu, 28 April 2021

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Penerimaan pajak sepanjang kuartal I-2021 turun 5,58% year on year (yoy). Salah satu penyebabnya yakni kontraksi pada pajak penghasilan (PPh) minyak dan gas bumi (migas). Padahal harga minyak global melesat.

Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 menunjukkan realisasi penerimaan PPh migas sebesar Rp 7,91 triliun di sepanjang Januari hingga Maret 2021. Angka tersebut kontraksi 23,49% yoy.

Pencapaian tersebut pun baru setara 17,28% dari target akhir tahun sebesar Rp 45,77 triliun. Artinya dalam sembilan bulan ke depan, otoritas pajak musti mengumpulkan penerimaan PPh Migas hingga Rp 37,86 triliun supaya bisa mencapai target akhir 2021.

Sementara itu, harga minyak global jenis brent misalnya hingga akhir kuartal I 2021 menguat 23,8% year to date (ytd). Bahkan naik 61% yoy. Adapun hingga pada akhir Maret harga minyak brent ditutup harga di US$ 63,54 per barel, jauh lebih tinggi dibandingkan harga pada akhir kuartal I-2021 di kisaran US$ 24 per barel.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati tidak menjelaskan lebih lanjut terkait kondisi penerimaan PPh migas yang kontraksi. Tetapi, secara umum penerimaan total pajak masih turun karena dampak pandemi virus corona.

“Karena Maret 2020 itu baru ada Covid-19, sementara tahun ini masih ada Covid-19 masih terjadi sekarang di sepanjang kuartal I-2021,” kata Sri Mulyani saat Konferensi Pers Realisasi APBN pada pekan lalu.

Ekonom Indo Premier Sekuritas Luthfi Ridho mengatakan seharusnya saat harga minyak global naik maka akan diiringi dengan kenaikan Indonesia Crude Prtice (ICP). Makanya Luthfi heran dengan adanya realisasi penerimaan PPh migas yang masih mengalami kontraksi hingga dua digit.

Luthfi meramal ke depan harga minyak global masih akan tumbuh siring dengan recovery ekonomi di China dan Amerika Serikat. Namun, Luthfi menyampaikan apabila tingkat kasus Covid-19 di India tetap tinggi, maka akan menjadi sentimen negatif atas penurunan harga migas.

“Tapi logikanya kalo harga minyak mentah di atas US$ 45 per barel seperti asumsi di APBN seharusnya bisa tercapai target penerimaan PPh migas,” kata Luthfi kepada Kontan.co.id, Rabu (28/4).

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan ada tiga kemungkinan terjadinya anomali antara kenaikan harga migas dan kontraksi pajak migas.

Pertama, korporasi tidak menjual menggunakan spot price atau harga terbaru. Sehingga tidak dapat menikmati kenaikan harga.  “Tidak menjual menggunakan spot price karena biasanya korporasi menggunakan strategi hedging. Harga jual ditentukan di belakang untuk mengatasi risiko,” kata Fajry kepada Kontan.co.id, Rabu (28/4).

 

Kedua, karena kompensasi kerugian dari tahun sebelumnya, sebab di pertengahan 2020 harga minyak sempat terpukul. Harga WTI malah sempat negatif di april 2020.

Ketiga, kemungkinan realisasi lifting perusahaan migas menurun. Sehingga meski harga naik, jika produksi migas loyo, penerimaan pajak juga ikut tergerus. Fajry menilai dengan adanya kondisi penerimaan PPh migas yang minus, target akhir tahun sulit tercapai.