PENGELOLAAN FISKAL : Batas Defisit APBN Diusulkan Diperlonggar

16 April 2019

 Bisnis Indonesia  Selasa, 16/04/2019 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2003-2008, Burhanuddin Abdullah menyarankan agar pembatasan maksimal defisit anggaran tidak dipatok sebesar 3% setiap tahun fiskal berjalan, tetapi 3% rata-rata selama 1 periode pemerintahan lima tahunan.

“Kenapa kita dibatasi defisit 3% per tahun? Kenapa kita tidak berpikir 5 tahun deh, average 3%,” tuturnya, di sela peluncuran buku bertajuk Menyimak Turbulensi Ekonomi : Pengalaman Empiris Indonesia, karya Anggito Abimanyu di Jakarta, Senin (15/4).

Menurutnya, dengan average 3% per 5 tahun atau selama satu periode pemerintahan, pengelolaannya bisa lebih fleksibel. “Jadi kalau sekarang perekonomian sedang lesu, kita perbesar defisitnya misalnya, dan kita kasih stimulus, kadang 5% atau 6% tapi dalam akhir 5 tahun itu dibatasi rata-rata 3%,” ujarnya.

Dia menjelaskan, dengan ketentuan defisit APBN yang saat ini dibatasi maksimal sebesar 3% setiap tahun fiskal berjalan, justru menyulitkan gerak pemerintah dalam mengelola anggaran. Namun kalau dipatoknya rata-rata lima tahunan periode pemerintahan maka akan lebih fleksibel.

“Jadi kalau pemerintah memerlukan anggaran untuk stimulus dalam suatu waktu, bisa dihidupkan stimulusnya dari APBN. Jadi defisit APBN dihitung rata-rata setiap satu kali pemerintahan saja,” ujarnya.

Seperti diketahui bahwa beleid yang mengatur defisit APBN agar tidak melebihi 3% setiap tahunnya sesuai dengan Undang-Undang (UU) No.17/2003 tentang Keuangan Negara.

Ketentuan dalam UU tersebut mengacu pada standar Maastricht Treaty yang berlaku di Eropa. “Maastricht Treaty itu kan juga bukan undang-undang, itu hanya anjuran saja di mereka di Uni Eropa,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Burhanuddin menyarankan agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera mengkaji kembali bentuk adaptasi dari Maastricht Treaty tersebut.

“Jadi ketentuan itu sebenarnya malah membatasi. Itu bisa dipikirkan untuk diubah. Tapi ada catatan, pemerintah harus hati-hati untuk kelola fiskalnya,” ujarnya.

Sementara itu, ekonom UGM Anggito Abimanyu mengaku sependapat bahwa batasan defisit APBN sebaiknya tidak dipatok 3% dalam setiap tahun fiskal berjalan.

Apalagi, beleid terkait hal tersebut juga disusun pada 2003, di mana kondisi saat itu dan sekarang sudah berbeda, sehingga sudah saatnya ada perubahan undang-undang yang mengatur hal tersebut.

“Saya setuju dan mungkin sekarang sudah bisa dilihat kondisi fiskal kita. Kalau dulu kan, itu undang-undang tahun 2003 ya, dan saat itu kan dibangun dalam suasana fiskal kita itu mengalami tekanan, dan kalau sekarang kan sudah tidak ada tekanan yang cukup besar jadinya seharusnya bisa. Tapi memang membutuhkan perubahan undang-undang,” terangnya.