PENGUNGKAPAN KETIDAKBENARAN SPT Sanksi Denda Lebih Ringan

27 December 2022

Tegar Arief & Ni Luh Anggela
Sabtu, 24/12/2022

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah memberikan keringanan sanksi bagi wajib pajak yang melakukan pengungkapan ketidakbenaran pelaporan Surat Pemberitahuan dari 150% menjadi 100%. Selain meningkatkan kepastian hukum, ketentuan ini juga meringankan beban wajib pajak dan meningkatkan kepatuhan.n

Ketentuan tersebut merupakan amanat dari UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan erpajakan (HPP) yang diturunkan ke dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 177/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permuaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

Dalam ketentuan sebelumnya, yakni UU No. 16/2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5/2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuam Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi UU, tarif denda ditetapkan sebesar 150%.

Seiring dengan disahkannya UU HPP yang kemudian diperinci ke dalam PMK No. 177/2022, pengenaan denda direlaksasi menjadi 100% sehingga lebih memiliki keberpihakan kepada wajib pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor, mengatakan aturan teknis tersebut memberikan kepastian hukum lebih kuat terkait dengan pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper).

“Peraturan ini mulai berlaku 60 hari sejak tanggal diundangkan atau 5 Desember 2022, yakni 3 Februari 2023,” katanya, Jumat (23/12).

Sekadar informasi, denda tersebut dibayarkan apabila wajib pajak atas kemauan sendiri melakukan pengungkapan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran dalam pelaporan data Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Ketidakbenaran atau pelanggaran yang dimaksud mencakup tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar, tidak lengkap, atau melampirkan keterangan palsu.

Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut wajib disertai dengan pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang, beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

Singkat kata, denda 100% itu dikenakan terhadap wajib pajak yang mengakui dan melakukan pembetulan atas pelaporan data palsu alias tidak sesuai dalam SPT, sehingga menyebabkan terjadinya kurang bayar pajak.

“Dalam rangka upaya ultimum remedium untuk memulihkan kerugian negara, meskipun telah terbit Laporan Pemeriksaan Bukper, wajib pajak tetap dapat mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya,” jelas Neil.

Dia menambahkan, proses pengungkapan ketidakbenaran itu bisa dilakukan dengan beberapa syarat, di antaranya apabila dimulainya penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum, dan terhadap pengungkapan tersebut diterbitkan pemberitahuan perubahan tindak lanjut Pemeriksaan Bukper.

Selain meringankan denda bagi wajib pajak, regulasi itu juga mengakomodasi perpanjangan Pemeriksaan Bukper menjadi maksimal 12 bulan.

Ketentuan tersebut lebih pendek dibandingkan dengan beleid sebelumnya, yakni PMK No. 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, yang memberikan perpanjangan waktu hingga 24 bulan.

Sekadar informasi, Bukper adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti yang dapat memberikan petunjuk mengenai adanya dugaan tindak pidana perpajakan.

Dalam melaksanakan fungsi tersebut, otoritas pajak memiliki kewenangan untuk melakukan Pemeriksaan Bukper sebelum penyidikan dengan mengacu pada beberapa sumber data.

Di antaranya laporan dari intelijen, pengawasan, pemeriksaan, serta data dari pihak lain.

Direktur Penegakan Hukum Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Eka Sila Kusna Jaya, mengatakan tindakan penegakan hukum itu sealu didahului dengan informasi, data, laporan, dan pengaduan.

“Kemudian itu ditindaklanjuti dengan kegiatan Bukper untuk mendapatkan cukup bukti atas pelanggaran pidana pajaknya,” jelasnya kepada Bisnis.

Editor : Tegar Arief