PENGUNGKAPAN SUKARELA WAJIB PAJAK, Program Pas Final Kurang Bertaji

11 October 2021

BisnisIndonesia, Tegar Arief, Senin, 11/10/2021 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA—Implementasi Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak pada tahun depan mencerminkan gagalnya pemerintah memaksimalkan Program Pas Final yang menjadi tindak lanjut dari Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty 2016.

Terlebih, Program Pengampunan Sukarela Wajib Pajak (PSWP) yang diakomodasi dalam Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) itu bertarif jauh lebih rendah.

Sekadar informasi, pascaprogram Pengampunan Pajak 2016 pemerintah merilis Program Pengampunan Pas Final atau pengungkapan aset sukarela dengan tarif final.

Pas Final diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum menyampaikan seluruh hartanya di dalam Tax Amnesty 2016 atau belum mengikuti program pengampunan dengan tarif sebesar 30% untuk Wajib Pajak Orang Pribadi. Adapun untuk Wajib Pajak Badan ditetapkan sebesar 25% dan Wajib Pajak Tertentu sebesar 12,5%.

Jika wajib pajak membayar denda sebesar dalam Pas Final maka terhindar dari sanksi administrasi sebesar 200% sebagaimana ketentuan di dalam UU No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak, atas harta yang tidak dilaporkan di dalam Program Tax Amnesty 2016.

Alih-alih memaksimalkan Pas Final, pemerintah justru meluncurkan Program PSWP dengan tarif jauh lebih murah, yakni di kisaran 6%—11%. Tarif itu pun jauh lebih rendah dibandingkan dengan usulan pemerintah yakni 12,5%—15%.

“Dengan tarif yang lebih rendah maka deterrent effect bagi wajib pajak yang belum patuh akan menjadi lebih kecil,” kata Pemerhati Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, akhir pekan lalu.

Menurutnya, pemerintah seharusnya bisa menerapkan tarif yang lebih tinggi dengan sejumlah alasan. Pertama, untuk menghasilkan penerimaan pajak yang jauh lebih besar.

Kedua, untuk menjamin bahwa Program PSWP merupakan yang terakhir. Artinya, tarif yang tinggi mengasumsikan bahwa saat ini adalah kesempatan terakhir bagi wajib pajak untuk mengungkap hartanya.

Fajry menambahkan bahwa pertimbangan program amnesti pajak harus sekali dilaksanakan adalah jika dilaksanakan kembali dalam waktu dekat akan mengurangi tingkat kepatuhan wajib pajak.

Menurutnya, Program PSWP dapat menyebkan ketidakpatuhan jika output dari program ini adalah dorongan untuk mengadakan program pengampunan serupa di masa mendatang.

Sebaliknya, Program PSWP dapat meningkatkan kepatuhan jika wajib pajak menganggap program ini adalah kesempatan terakhir. “Dengan tarif yang lebih tinggi dari tarif amnesti pajak 2016/2017, sudah seharusnya wajib pajak menjadikan Program PSWP sebagai pintu kesempatan terakhir,” jelasnya.

Dia menegaskan tarif yang lebih tinggi juga memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak yang telah mengungkapkan seluruh hartanya pada program amnesti pajak 2016/2017.

Dihubungi secara terpisah, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menilai, sejak tahun lalu pemerintah memiliki ruang gerak yang sempit untuk menyeimbangkan fiskal.

Menurutnya, kebijakan perpajakan tersebut mengacu pada keterbatasan rasionalitas para pembuat kebijakan. Musababnya, pemerintah tengah menghadapi sejumlah kendala untuk mewujudkan konsolidasi fiskal pada 2023.

Pertama, kendala keterbatasan ruang fiskal. Kedua, maraknya praktik offshore evasion. Ketiga, pemerintah memilih untuk tidak menegakkan aturan (law enforcement) dengan cara enforced compliance.

“Ini pilihan rasional pembuat kebijakan yang tidak mungkin mengakomodasi semua kepentingan dan semua usulan,” kata Prianto.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa PSWP disusun untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak yang diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Adapun pelaksanaan program berdurasi selama 6 bulan, tepatnya sejak 1 Januari hingga 30 Juni 2022. Terkait dengan terbatasnya durasi tersebut, Menteri Keuangan meminta kepada wajib pajak untuk aktif mengikuti PSWP.

“Sebelum kemudian langkah-langkah penindakan dilakukan sesuai dengan yang diatur di dalam UU,” tegas Sri Mulyani.