Percepatan Restitusi Dinilai Tak Berdampak Negatif pada Penerimaan Pajak

12 May 2023

Arnoldus Kristianus / WDP
Kamis, 11 Mei 2023

Jakarta, Beritasatu.com – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan penyederhanaan proses pengembalian lebih bayar dalam pembayaran pajak (restitusi) dari jangka waktu semula 12 bulan menjadi 15 hari kerja. Meskipun ada pemangkasan waktu namun hal ini diperkirakan tidak akan berdampak negatif ke penerimaan pajak.

“Kami tidak melihat ada risiko bahwa tiba-tiba wajib pajak kemudian akan membengkak, karena trennya selama ini segitu segitu saja jumlah wajib pajak yang menyampaikan SPT restitusi dengan nilai di bawah Rp 100 juta. Namun, kami akan lihat perkembangannya dari waktu ke waktu,” ucap Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal dalam media briefing di Kantor Pusat DJP pada Kamis (11/5/2023).

 

Kemudahan tersebut diberikan khusus kepada WP Orang Pribadi (OP) yang mengajukan restitusi Pajak Penghasilan OP sesuai Pasal 17B dan 17D Undang- Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 100 juta. Lebih lengkap, kemudahan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2023 tanggal 9 Mei 2023 tentang Percepatan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.

“Dalam beberapa tahun terakhir data yang menunjukkan bahwa SPT yang disampaikan oleh OP selama beberapa tahun terakhir yang dibawah Rp 100 juta itu berkisar 12 ribu sampai 15 ribu SPT. Kami berharap dengan Perdirjen ini, tentunya akan kita proses melalui proses pengembalian pendahuluan sehingga nanti diharapkan prosesnya nanti menjadi lebih mudah bagi wajib pajak,” kata Yon.

Yon menuturkan dengan adanya pemotongan waktu restitusi in akan memberikan kemudahan bagi wajib pajak. Dari sisi DJP akan terjadi pengurangan biaya administrasi karena mengurangi beban pemeriksaan.

“Kami tidak melihat ini dia ada risiko membengkak. namun demikian nanti kita akan lihat lah perkembangannya, karena ini akan kita segera implementasikan, kita lihat perkembangannya dari waktu ke waktu,” tutur Yon.

Proses restitusi tersebut dilakukan secara less intervention dan less face to face antara petugas pajak dan WP untuk lebih menjamin akuntabilitas dan menghindari penyalahgunaan kewenangan. Dalam hal terdapat WP yang telah diberikan pengembalian pendahuluan dan jika di kemudian hari dilakukan pemeriksaan lalu ditemukan kekurangan pembayaran pajak, WP dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100%.

Namun berdasarkan perdirjen ini sanksi administratif tersebut direlaksasi menjadi hanya sebesar sanksi Pasal 13 ayat (2) UU KUP dimana sanksi per bulannya didasarkan pada suku bunga acuan ditambah uplift factor 15% untuk paling lama 24 bulan.

Apabila dibandingkan, sanksi tersebut jauh lebih rendah daripada sanksi kenaikan 100%. Perlu diketahui, relaksasi tersebut dilakukan melalui mekanisme pengurangan sanksi sesuai Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP. Dalam masa peralihan pengaturan, apabila sampai dengan 31 Mei 2023, terhadap SPT Tahunan lebih bayar yang belum dilakukan pemeriksaan atau sedang dilakukan pemeriksaan tetapi Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) belum disampaikan, pemeriksaan restitusi dihentikan dan ditindaklanjuti sesuai peraturan ini.

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan saat ini masih dalam masa transisi agar proses ini bisa dilakukan secara otomasi. Sampai saat ini DJP sedang mempersiapkan sistem agar proses percepatan restitusi bisa berjalan optimal.

“Kalau ada yang lagi mau menyampaikan SPT dan pembetulan SPT ya monggo tetapi kita proses khususnya bagi yang selama restitusi dapat kita proses lebih lanjut mulai 1 Juni 2023. Jadi ini hambatan bagi kita untuk menyampaikan ke masyarakat dan kesempatan bagi kami untuk menyampaikan ke masyarakat,” kata dia.

Direktur Perpajakan II DJP Teguh Budiharto mengatakan percepatan dilakukan agar pihaknya dapat memberikan pelayanan dan efektivitas yang terbaik bagi wajib pajak. Dari kajian yang dilakukan DJP terlihat ternyata wajib pajak dengan status lebih bayar maksimal Rp 100 juta adalah wajib pajak dalam golongan karyawan. Dalam hal ini karyawan baik Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, Polri maupun karyawan non ASN serta orang pribadi usaha lainnya.

“Kami coba lihat yang usaha ternyata omset tahunan ratusan juta saja relatif risiko kecil sekali. Ini menjadi concern kami untuk memberikan yang lebih fleksibel tentu efisien bagi wajib pajak bagi kami,” pungkas Teguh.