Performa Lagi Loyo, Bos Ritel ‘Nangis Darah’ Minta Ini ke Pemerintah
15 August 2024
Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
14 August 2024
CNBC Indonesia – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey memproyeksikan pertumbuhan industri ritel semester I-2024 mengalami perlambatan. Di mana proyeksinya, pertumbuhan industri ritel pada paruh tahun 2024 ini hanya berada di level 4,1-4,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama di tahun 2023 lalu, yakni 4,8-4,9%.
“Pertumbuhan ritel semester I-2024 ini agak turun dari semester I tahun lalu. Semester I tahun ini diproyeksikan sekitar 4,1-4,2%, dibandingkan dari tahun lalu 4,8-4,9%. Kuartal II-2024 ini bisa sekitar 3,5-4%. (Sementara) untuk kuartal III-2024 dengan pertumbuhan ritel 4% saja sudah bagus,” kata Roy saat ditemui di Hotel Borobudur Jakarta, Rabu (14/8/2024).
Kendati demikian, ia menyebut pertumbuhan industri ritel belum berada di level negatif, hanya saja terjadi perlambatan sejak tiga bulan lalu, atau tepatnya setelah momentum Lebaran Idul Fitri.
Adapun melambatnya pertumbuhan ritel di paruh tahun 2024 ini, kata Roy, karena terjadinya deflasi yang diakibatkan dari penurunan daya beli masyarakat. Sementara itu, ia menyebut pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga kenaikan suku bunga menjadi faktor dari menurunnya daya beli masyarakat itu sendiri.
“Deflasi itu terjadi karena penurunan permintaan. Penurunan permintaan itu artinya konsumen menahan belanja. Itu terjadi karena gelombang PHK sudah terjadi hampir lebih dari 25.000. Lalu kondisi kelompok menengah juga sudah makan tabungan, karena kenaikan pendapatan dan fluktuasi harga. Kenaikan suku bunga juga untuk kelompok menengah sangat berdampak. Mereka daripada kehilangan motor atau mobil, karena bunga kreditnya naik, mereka mulai mengurangi belanja,” jelasnya.
Karena itu, Roy mengatakan bahwa pihaknya selalu menyuarakan agar BI rate jangan terlalu lama tinggi. Ia berharap BI rate di semester II-2024 ini bisa turun ke level 5,75-6%.
“Kalau BI rate tinggi yang terjadi itu semua angsuran kredit menjadi tinggi, masyarakat jadi ragu untuk konsumsi, impulse buying-nya hilang kalau suku bunga tinggi,” terang dia.
Lebih lanjut, Roy turut menyoroti rencana pemerintah dalam menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Menurutnya, rencana kenaikan PPN di awal tahun 2025 bisa mempengaruhi kenaikan harga barang di ritel sejak kuartal IV-2024. Oleh sebab itu, ia meminta kepada pemerintah untuk menyatakan bahwa implementasi dari PPN 12% ditunda.
“Kalau nggak ada pernyataan ditunda, itu masuk kuartal IV-2024 harga barang (di ritel) pasti naik, kalau PPN 12% tetap jalan. Harga sejak 2-3 bulan sebelumnya sudah naik dulu, karena melihat daripada naik setelah PPN 12% resmi dijalankan. Makanya, pernyataan PPN 12% ditunda itu sangat kita minta ke pemerintah,” pungkasnya.
(wur)