Perjanjian MLA Tak Kuat Jadi Dasar RI Cari WP yang ‘Kabur’ ke Swiss

06 February 2019

VIVA, Rabu, 6 Februari 2019 | 11:38 WIB

VIVA – Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyatakan, perjanjian Mutual Legal Assistance/MLA atau Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Indonesia dengan Swiss, saat ini belum kuat dijadikan dasar untuk memburu para wajib pajak kategori pengemplang yang melarikan dananya ke Swiss.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama menjelaskan, itu karena penelusuran data terkait pengemplang pajak yang diduga sudah banyak melarikan dananya ke Swiss, baru dapat ditelusuri dengan sistem Automatic Exchange of Information (AEoI).

MLA telah ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly bersama dengan Konfederasi Swiss, di Bernerhorf, Senin 4 Februari 2019. Perjanjian tersebut, terdiri dari 39 pasal yang termasuk di dalamnya dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud).

“Nah, memang pajak juga bisa memanfaatkan MLA ini dalam hal kita melakukan penyelidikan atau penyidakan tindak pidana perpajakan yang memang kita duga ada hasil kejahatan perpajakan yang disimpan di Swiss, tapi kan kita saat ini konteksnya AEoI,” katanya, saat dihubungi VIVA, Rabu 6 Januari 2019.

Dia menjelaskan, terkait kerja sama AEoI dengan Swiss, baru akan dilaksanakan secara teknis pada tahun ini di September mendatang. Sehingga, meski dugaan kejahatan perpajakan banyak dilakukan orang Indonesia di Swiss, dia belum dapat menjabarkannya secara spesifik mengenai data tersebut.

“Datanya baru mau dipertukarkan di bulan September nanti, untuk pertama kali. Jadi, kita belum bisa bicara potensi atau apapun terkait itu,” tegasnya.

Karena itu, di mengatakan, meski MLA tersebut belum dapat dimanfaatkan secara penuh untuk menelusuri kejahatan perpajakan. Namun, ditegaskannya, itu nantinya dapat dimanfaatkan untuk menentukan penyidikan dan penyelidikan lebih lanjut terhadap pengemplang pajak di masa lalu. Lantaran, perjanjian yang ditandatangani tersebut menganut prinsip retroaktif atau berlaku surut.

“Kami lihat datanya dulu dan kalau misalnya ada dan memang kita ingin angkat ke pidana perpajakan baru kita akan memanfaatkan itu,” ungkapnya.

“Tapi tindak pidana perpajakan itu kan, pilihan terakhir dalam konteks administrasi perpajakan. Kalau, misalnya ada data orang simpan uangnya di sana belum bayar pajak, ya kalau kita suruh bayar mau, ya sudah, kan gitu,” tegasnya.