Indonesia dan Swiss teken kerjasama MLA, bidik kejahatan pajak dan korupsi

05 February 2019

Kontan, Selasa, 05 Februari 2019 / 23:08 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah Republik Indonesia (RI) via Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H. Laoly meneken perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana  atau mutual legal assistance (MLA) antara Republik Indonesia dengan Konfederasi Swiss di Bernerhof Bern, Senin (4/2).

Ini merupakan perjanjian MLA yang ke 10 yang telah diteken Indonesia. Yakni dengan ASEAN, Australia, Hong Kong, Tiongkok, Korea Selatan, India, Vietnam, Uni Emirat Arab dan Iran. Sedangkan bagi Swiss merupakan perjanjian MLA yang ke 14 dengan negara non Eropa.

Bagi Indonesia, perjanjian tersebut terbilang penting, mengingat Swiss merupakan pusat keuaungan terbesar di Eropa.

Apalagi pemerintah lewat program Nawacita  menekankan pentingnya perjanjian ini sebagai platform kerja sama hukum, khususnya upaya melakukan pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi (asset recovery).

Perjanjian ini terdiri dari 39 pasal, yang antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan.Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam  proses hukum pidana di negara peminta.

Perjanjian ini juga dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud) sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya.

Atas usulan Indonesia, perjanjian yang ditandatangani tersebut menganut prinsip retroaktif. Prinsip tersebut memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan. Hal ini sangat penting guna menjangkau kejahatan yang dilakukan sebelum perjanjian ini.

Perjanjian MLA RI-Swiss terwujud melalui dua kali putaran, pertama dilakukan di Bali pada tahun 2015. Kedua pada tahun 2017 di Bern, Swiss untuk menyelesaikan pembahasan pasal-pasal yang belum disepakati di perundingan pertama.

Pasca penandatanganan perjanjian ini, Menkumham berharap dukungan penuh dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera meratifikasi agar perjanjian ini dapat langsung dimanfaatkan oleh para penegak hukum, dan instansi terkait lainnya.