Perpanjangan Insentif Pajak Meringankan Beban

19 July 2021

Sabtu, 17 Juli 2021 |

JAKARTA, investor.id – Sejumlah ekonom menilai keputusan pemerintah untuk memperpanjang pemberian enam insentif pajak mulai bulan ini hingga akhir Desember 2021, sudah tepat untuk meringankan beban di tengah pandemi Covid-19 khususnya di tengah pemberlakuan PPKM Darurat.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy mengatakan bahwa situasi perpanjangan insentif esensial bagi individu dan pelaku usaha, setidaknya dengan perpanjangan insentif pajak sedikit memberikan kelonggaran pada arus kas keuangan perusahan, agar pelaku usaha industri atau pengusaha untuk tetap bisa bertahan di tengah situasi pandemi dan pemberlakuan PPKM darurat.

”Insentif pajak diperpanjang saya kira berikan sedikit ruang bernapas bagi pelaku usaha terhadap aliran kas keuangan mereka,” tuturnya kepada Investor Daily, Jumat (16/7). Meski perpanjangan insentif pajak telah diberikan hingga akhir tahun, namun ia menilai insentif pajak tidak dapat bekerja sendiri, apalagi dalam kondisi saat ini.

Dampak dari insentif pajak dapat dirasakan ke ekonomi, jika dikombinasikan dengan stimulus lainnya yang juga telah diberikan pemerintah.   “Insentif pajak menjadi salah satu penopang dan harus ditopang dengan bentuk insentif lain seperti  stimulus listrik, kemudian  untuk para pelaku usaha, kombinasi ini diperlukan sementara bagi pelaku usaha untuk bisa meringankan beban mereka dalam PPKM darurat,” ujarnya.

Adapun untuk insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP). Yusuf menilai insentif ini cukup efektif memberikan kelonggaran arus kas keuangan perusahaan, sehingga dana perusahaan dapat digunakan untuk keperluan lain seperti produksi dan bonus karyawan.

Akan tetapi secara umum, Yusuf menilai dampak PPh 21 kepada karyawan dampaknya cukup variatif dan relatif kecil, dibandingkan dampak yang lebih besar dimanfaatkan pelaku usaha atau pengusaha. “Sebab tidak semua,pelaku usaha ketika memanfatkan insentif ini diberikan kembali ke karyawan dalam bentuk uang tunai, jika bicara individu bantuan sosial tunai, kemudian bantuan sembako lebih berdampak besar ke karyawan dan individu Bantuan insentif pajak lebih banyak menguntungkan dan terdampak lebih besar ke pelaku usaha dan idnsutri,” katanya.

Lebih lanjut, ia meminta agar perpanjangan enam insentif pajak lebih efektif  hingga akhir tahun, maka diperlukan sosialisasi, kepada para sketor yang berhak menerima insentif ini, kemudian terkait prosedur atau syarat yang dibutuhkan untuk menikmati insentif dapat dipermudah.

“Mungkin (prosedur) memang tidak akan mudah apalagi jika bicara pajak. Sebab dokumen yang dibutuhkan akan banyak, tetapi dalam situasi pandemi dan pemerintah atau pelaku usaha harus bergerak cepat maka penyederhanaan skema pemanfaatan insentif  pajak jadi penting dilakukan,” ucapnya.

Meski begitu, ia menegaskan bahwa insentif pajak bukan merupakan  stimulus yang akan langsung memberikan efek berganda kepada kinerja ekonomi. Sebab masih ada insentif atau stimulus lainnya yang dirasa lebih efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi seperti Bansos tunai, stimulus UMKM, perlindungan sosial.

“Harus diakui insentif pajak bukan insentif teratas ketika bicara efek berganda ke perekonomian sebab bansos, UMKM masih lebih cukup berikan efek lebih besar bagi perekonomian dibandingkan insentif pajak. Tapi dalam situasi seperti ini tetap apapun insentif dan harus berjalan beriringan dengan insentif lainnya enggak bisa jalan sendiri-sendiri,” ungkapnya Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara.

Sementara itu,  Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira meminta pemerintah untuk lebih fokus memberikan insentif pajak yang berdampak langsung terhadap daya beli masyarakat.

Sebagai contoh PPH 21 ditanggung pemerintah itu perlu didorong karena berdampak terhadap karyawan langsung. Sementara penurunan tarif PPh badan yang perlu dievaluasi karena efeknya lebih panjang ke pemulihan ekonomi. Selanjutnya untuk relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) 0 persen yang resmi diperpanjang pada Juni-Agustus 2021, dinilainya tidak terlalu diperlukan dan harus dievaluasi, sebab pemberlakuan PPKM darurat justru terjadi penurunan mobilitas.

“Terkait dengan PPnBM 0% untuk kendaraan bermotor itu perlu dievaluasi juga karena situasi PPKM darurat justru yang harus dilakukan adalah penurunan mobilitas agar penularan bisa ditekan. Insentif  PPnBM justru kontradiktif dengan upaya PPKM  darurat, karena mendorong masyarakat membeli mobil baru dan melakukan perjalanan antar daerah,” paparnya. Tak hanya itu, Bhima menyebut sisi belanja pajak yang relatif jumbo menggerus rasio pajak bahkan sejak sebelum pandemi, maka pemerintah harus bijak menentukan sektor mana yang prioritas. Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi), Ajib Hamdani.

Sementara itu, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Ajib Hamdani mengungkapkan untuk PPh 21 sifatnya hanya menggeser alokasi pembayaran, dari ke kas negara ke karyawan, yang mendapat manfaat karyawannya bukan pengusahanya.

Sedangkan untuk PPh Final bagi UMKM dan Jasa Konstruksi, dinilainya  sangat membantu karena UMKM dan Jasa Konstruksi yang memperoleh fasilitas tidak perlu membayar pajaknya. Untuk PPh Pasal 22 impor dan PPh Pasal 25 membantu di saat ini dari sisi likuiditas namun banyak wajib pajak tidak menyadari bahwa sifatnya sementara, karena ini normalnya adalah pajak dibayar dimuka yang pada akhir tahun dapat menjadi kredit pajak.

“Dengan fasilitas pembebasan PPN dan pengurangan PPh Pasal 25, WP harus berhitung cermat akan potensi kurang bayar atau lebih bayar di akhir tahun nanti. Untuk restitusi dipercepat, jelas membantu, namun dengan dikuranginya jumlah KLU penerima fasilitas, akan mengecewakan bagi sektor yang tidak lagi masuk di dalamnya, padahal pandemi masih mendera,” ujarnya.

Secara prinsip, apapun fasilitas yang diberikan oleh pemerintah, Hipmi menyambut positif, karena itu upaya pemerintah (berbagi) dengan para pelaku usaha. Namun yang justru menjadi sorotan, kata Ajib terkait  ketidaksinkronan antara tataran konsep dan praktik di lapangan.

Secara nasional semua sepakat akan upaya pemulihan ekonomi nasional dengan menggelontorkan program dan berbagai insentif. “Tetapi  di lapangan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan  (SP2DK) masih terus digiatkan dan Wajib Pajak memiliki ruang terbatas dihadapkan pada membayar dalam tempo yang diminta petugas pajak atau ditingkatkan ke pemeriksaan bila tak mampu memenuhinya, manakala kondisi saat ini usaha tidak berjalan baik-baik saja,”tegasnya.