PERUBAHAN BASELINE PPH, Basis Pajak Rawan Tergerus

05 October 2021

BisnisIndonesia, Tegar Arief, Selasa, 05/10/2021 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Basis pajak bakal tergerus sejalan dengan keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang mengubah baseline atau batas penghasilan kena pajak di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.n

Selama ini, pemerintah menerapkan empat macam tarif PPh orang pribadi. Pertama 5% untuk lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) sampai dengan Rp50 juta per tahun.

Kedua 15% untuk lapisan PKP di atas Rp50 juta—Rp250 juta, ketiga 25% untuk lapisan PKP di atas Rp250 juta—Rp500 juta, dan keempat tarif sebesar 30% untuk lapisan PKP di atas Rp500 juta.

Adapun di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengubah ketentuan yang berkaitan dengan baseline PKP. (Lihat infografik).

Dalam RUU tersebut, tarif 5% berlaku bagi wajib pajak berpenghasilan maksimal Rp60 juta per tahun. Artinya, secara rerata wajib pajak yang membayar dengan tarif ini mengantongi penghasilan Rp5 juta per bulan.

Sementara itu jika mengacu pada aturan lama, wajib pajak yang membayar dengan tarif 5% memiliki rerata penghasilan Rp4,1 juta per bulan.

Dengan demikian ada penggerusan basis pajak dalam skema yang tertuang di dalam RUU itu, karena jumlah wajib pajak yang memenuhi syarat penghasilan berkurang seiring dengan penambahan baseline tersebut.

Di sisi lain, pemerintah berisiko menghadapi penurunan potensi penerimaan dari masyarakat yang memiliki penghasilan di atas Rp50 juta—Rp60 juta per tahun.

Pasalnya dalam aturan lama wajib pajak kelas ini dikenai tarif 15%, sedangkan dalam aturan baru hanya 5%.

Pemerintah memang bisa mengompensasi hilangnya potensi penerimaan akibat perubahan struktur tarif dan penggerusan basis pajak itu melalui penambahan lapisan PKP berpenghasilan di atas Rp5 miliar per tahun, yang dikenai tarif Pajak Penghasilan (PPh) 35%.

Persoalannya, tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi nonkaryawan atau masyarakat kaya jauh dari kata memuaskan.

Sebaliknya, kepatuhan dari wajb pajak orang pribadi karyawan selalu moncer.

Pada tahun lalu misalnya, kepatuhan wajib pajak orang pribadi karyawan tercatat mencapai 85,42%, sementara tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi nonkaryawan hanya 52,45%.

Dengan kata lain, penambahan lapisan PKP untuk masyarakat berpenghasilan di atas Rp5 miliar per tahun masih penuh dengan tantangan karena tingkat kepatuhan yang selama ini sangat rendah.

Terkait dengan hal ini, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor optimistis strategi itu akan menjaga performa penerimaan negara.

Neil meyakini, penambahan lapisan pajak untuk masyarakat kelas atas akan mengompensasi hilangnya potensi penerimaan dari kebijakan yang diatur di dalam RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan itu.

“Hal itu menjadi salah satu poin pembahasan RUU yang disepakati antara pemerintah bersama DPR,” kata dia kepada Bisnis, Senin (4/10).

Kendati pemerintah dan DPR telah sepakat mengenai substansi di dalam RUU tersebut, menurut Neil tidak menutup kemungkinan adanya perubahan skema tarif PPh ini.

Musababnya, pembahasan RUU tersebut akan diteruskan ke Pembicaraan Tingkat II atau Pengambilan Keputusan pada Sidang Paripurna DPR.

“Tentunya kita masih menunggu dinamika pembahasan akhir dari RUU tersebut,” ujarnya.

Terlepas dari berbagai risiko yang muncul dari perubahan struktur PPh ini, dia menegaskan bahwa pemerintah akan terus berupaya menciptakan kebijakan perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel.

Mengacu pada data Ditjen Pajak, populasi wajib pajak orang pribadi saat ini paling banyak berada pada lapisan pertama atau dengan tarif 5%, yakni 84,0% dari total populasi atau sebanyak 8,81 juta orang.

Populasi wajib pajak pada lapisan kedua adalah sebesar 12,1%, atau sebanyak 1,27 juta orang, sedangkan populasi wajib pajak pada lapisan ketiga adalah sebesar 2,3%, atau sebanyak 240.313 orang.

Adapun populasi wajib pajak pada lapisan keempat adalah sebesar 1,64%, atau sebanyak 166.728 orang memiliki penghasilan di atas Rp500 juta.

Pengamat Ekonomi IndiGo Network Ajib Hamdani mengatakan, kebijakan ini akan memiliki konsekuensi terpangkasnya potensi penerimaan negara.

Sebab, ketika batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) naik maka basis pajak akan berkurang.

BELUM EFEKTIF

Sementara itu, upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong kepatuhan wajib pajak kelas atas sejauh ini belum efektif memacu penerimaan.

Menurut Ajib, kepatuhan hanya bisa ditingkatkan dengan pengawasan yang lebih ketat.

Faktanya, selama ini tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi karyawan jauh lebih prima dibandingkan dengan orang kaya.

“Lapisan bawah cenderung patuh, karena sebagai karyawan, pajaknya sudah dipotong pemberi kerja,” kata dia.

Ajib menambahkan, tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi nonkaryawan akan meningkat secara alamiah jika telah terbentuk kesadaran pembayaran pajak. Biasanya budaya seperti ini terjadi di negara maju.

Adapun untuk emerging country seperti Indonesia, masih memerlukan pengawasan untuk peningkatan kesadaran pembayaran pajak tersebut.

“Jadi, tingkat kesadaran dan kepatuhan pembayaran pajak masih perlu diawasi dan ke depannya ditingkatkan untuk semua lapisan,” ujarnya.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menambahkan, efektivitas dari kebijakan ini masih penuh dengan tanda tanya mengingat berdasarkan the second best theory, tidak ada kebijakan yang ideal (the best policy).

Alhasil, para pembuat kebijakan berkompromi terhadap the second best policy yang pasti tidak ideal dan selalu memunculkan loopholes.