PMK BENTUK USAHA TETAP : Sengketa Pajak Berpotensi Berkurang

10 April 2019

Bisnis Indonesia  Rabu, 10/04/2019 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Selain mempertegas status Bentuk Usaha Tetap (BUT), berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.35/2019 tentang BUT dianggap dapat memperkecil potensi sengketa antara otoritas pajak dan perusahaan-perusahaan multinasional.n

Dalam catatan Bisnis, selain sengketa pajak dengan sejumlah perusahaan over the top (OTT) salah satunya Google cs, sengketa pajak antara Ditjen Pajak dan BUT juga sempat masuk dalam ranah peradilan pajak, bahkan sebagian juga telah diputuskan pada level peninjauan kembali atau PK.

Salah satu sengketa yang telah diputus di tingkat PK adalah sengketa antara Ditjen Pajak dan BUT Hubei Hongyuan Power Engineering Co.Ltd. Sengketa itu bermula dari keberatan atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP–609/WPJ.05/2011 mengenai Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN masa pajak 2008 atas nama BUT tersebut.

Namun demikian, dengan keberadaan putusan yang mengabulkan banding dari BUT tersebut ditambah dengan pertimbangan memori PK yang disampaikan Ditjen Pajak, majelis hakim menganggap bahwa alasan-alasan yang dikemukan otoritas pajak tidak dapat dibenarkan.

Apalagi, setelah meneliti koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN yang dikemukakan Ditjen Pajak, majelis hakim juga tak melihat adanya bukti hubungan istimewa antara perusahaan tersebut sebagai BUT dan Dongfang Electric Corporation.

Hubungan antara BUT dan Dongfang Electric Corporation terbatas pada perjanjian kerja. Dengan petimbangan tersebut, majelis hakim pada akhir tahun lalu menolak permohonan peninjauan kembali dari Direktorat Jenderal Pajak.

Selain kasus tersebut, sengketa pajak dengan perusahaan BUT, juga pernah dialami oleh Ditjen Pajak dan BUT Total E&P Indonesie. Hanya saja dalam sengketa pajak yang terkait dengan PPh itu, nasib otoritas pajak agak sedikit beruntung, karena Mahkamah Agung (MA) menolak PK dari BUT.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa keputusan pemerintah untuk menerbitkan beleid soal BUT akan menurunkan sengketa pajak antara otoritas pajak dan BUT.

Apalagi, dengan status orang pribadi atau korporasi yang telah ditetapkan sebagai BUT, mereka secara otomatis menjadi subyek pajak dalam negeri. Sebagai subyek pajak dalam negeri, BUT harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan melaporkan SPT, serta memenuhi kewajiban perpajakan lainnya.

“PMK ini bagian dari perbaikan regulasi, sekaligus memberikan kepastian hukum sehingga mengurangi potensi sengketa pajak dengan wajib pajak,” kata Yoga kepada Bisnis, Selasa (9/4).

Yoga tak menampik, sebelum adanya aturan tersebut, pengaturan soal BUT sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang PPh. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, frasa soal BUT kerap menimbulkan perbedaan tafsir antara WP dan otoritas pajak. Dengan melihat latar belakang tersebut, pemerintah memandang perlu membuat sebuah aturan sebagai turunan dari UU PPh, untuk menegaskan definisi tentang BUT.

Penegasan mengenai BUT terdapat dalam Pasal 4 ayat 3 PMK/2019 yang menegaskan, setiap perusahaan yang mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan di Indonesia bisa dianggap sebagai BUT. Artinya, setelah ditetapkan sebagai BUT, korporasi multinasional dalam bentuk apapun wajib untuk patuh terhadap kewajiban perpajakan di Indonesia.

“Tetapi, ini tidak hanya terkait perbedaan tafsir tertentu, PMK itu menjelaskan atau menegaskan untuk berbagai BUT, dalam hal ini termasuk yang bergerak di bidang proyek konstruksi bahkan agen asuransi,” tegasnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mempertegas argumentasi dari otoritas pajak bahwa implementasi PMK No.35/2019 telah memberikan kepastian hukum terkait pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan di Indonesia, dengan menimbang model usaha yang melibatkan subyek pajak luar negeri yang terus berkembang.

Selain itu ketentuan dalam pasal 2 pada PMK ini berupa pendaftaran NPWP bagi Orang Pribadi Asing atau Badan Asing yang menjalankan usaha atau melakukan usaha melalui BUT, telah sesuai dengan dasar hukum Pasal 5 ayat (2) UU KUP serta ketentuan yang tertulis dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara atau yuridiksi mitra.

Namun demikian, Prastowo menekankan bahwa inti dari PMK ini telah jelas mengatur ketentuan mengenai tempat usaha ‘place of business’ sebagai tempat yang digunakan oleh OP asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

“Terdapat 2 ayat dalam PMK yang dibuat khusus untuk mengatur lebih jelas kriteria mengenai tempat usaha, sebaliknya juga mengatur mengenai ketentuan yang membatasi kriteria tempat usaha sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai ‘place of business’ dalam ketentuan BUT,” katanya.

Pengamat pajak DDTC Bawono Kristiaji memiliki pandangan lain. Dia mengungkapkan bahwa bagaimanapun pengaturan domestik terkait oleh BUT, tetap harus tunduk terhadap penentuan BUT yang ada di dalam P3B. Apalagi saat ini mayoritas negara atau mitra dagang pemerintah maupun investasi telah memiliki P3B dengan Indonesia.

“Kalaupun pemerintah memang berupaya memajaki multinational enterprise yang selama ini lolos, mungkin akan lebih efektif melalui tax treaty,”ujarnya.

Terlepas proses pelaksanaan aturan BUT tersebut berlanjut, Bawono memandang, pengawasan terkait penentuan BUT juga harus ditopang dari sisi pengawasan administrasinya, misalnya batasan hari atau aktivitas yang bisa dikategorikan sebagai BUT.