POLEMIK PAJAK DIGITAL Harus Berani Yakinkan AS

10 June 2020

Bisnis Indonesia, Rabu, 10/06/2020 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA – Selain perlu meyakinkan Amerika Serikat, npemerintah dinilai juga sudah saatnya mencermati penyusunan skema pemajakan yang tidak diskriminatif sebagai jalan tengah untuk menghindar dari ancaman retaliasi dan sanksi dari negeri Paman Sam.n

Namun di sisi lain berkembang juga pandangan yang menuntut pemerintah harus berani mengenankan pajak digital secara tegas terhadap perusahaan penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) seperti Netflix, Spotify, dan Facebook.

Dari informasi yang dihimpun Bisnis, pemerintah kabarnya sedang menyusun sikap resmi guna merespons langkah reaktif pemerintahan Presiden Donald Trump. Sikap resmi ini sedang difinalisasi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.

“Tunggu holding statement pemerintah, masih difinalisasi Menkeu dan Menlu,” ujar sumber Bisnis yang mengetahui proses tersebut, Selasa (2/6).

Informasi itu juga menyebutkan bahwa langkah hati-hati pemerintah ini didasarkan atas pertimbangan hubungan strategis antara Indonesia dan AS di bidang ekonomi dan politik. “Ini tak sekadar menyangkut pajak tapi isu politik dan ekonomi,” ujar sumber tadi.

Sejauh ini Kementerian Keuangan, baik Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Kebijakan Fiskal belum bersedia dikonfirmasi. Begitu pula dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat memberikan pernyataan resmi mengenai program pemulihan ekonomi nasional beberapa waktu lalu. “Soal pajak digital, saya belum jawab dulu,” ujarnya singkat.

Dalam catatan Bisnis, secara ekonomi AS merupakan salah satu pasar cukup prospektif bagi ekspor nonmigas asal Indonesia. Data Badan Pusat Statistik menyebut total ekspor Indonesia ke AS selama 2019 mencapai US$17,68 miliar. Total ekspor ini menjadi yang kedua terbanyak setelah China.

Indonesia selama ini juga menikmati fasilitas keringanan bea masuk atau generalized system preference (GSP). Namun fasilitas GSP ini sempat terancam dicabut, karena pihak AS menganggap Indonesia masuk kategori negara maju.

Dimintai pendapatnya, Direktur Eksekutif ICT Indonesia Heru Sutadi menegaskan sikap berani pemerintah bahkan tidak hanya sebatas mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) tetapi juga pajak penghasilan (PPh) terhadap perusahaan over the top (OTT) asing.

“Sebab kalau PPN kan lebih menyasar pembeli atau pengguna layanan yang dari Indonesia. Sementara keuntungan perusahaan dari iklan. Dari penjualan layanan kepada orang Indonesia tidak dikenakan,” ujarnya.

Menurut dia, pemerintah harus menerapkan skema pemajakan yang komprehensif terhadap perusahaan OTT seperti Netflix, Spotify, dan Facebook serta mengenakan kewajiban pajak yang setara dengan pemain lokal.

Bahkan, jelasnya, pemerintah tidak perlu menunggu kesepakatan dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) terkait dengan penerapan pajak digital yang rencananya selesai tahun ini.

Pasalnya, dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 sudah tercantum dua klausul terkait PMSE, yakni pengenaan PPN atas pemanfaatan barang kena pajak (BKP) tidak berwujud serta jasa kena pajak (JKP) dari luar daerah pabean serta pengenaan pajak penghasilan (PPh) atau pajak transaksi elektronik (PTE) bagi subjek pajak luar negeri yang memenuhi significant economic presence.

Hal tersebut dinilai cukup sebagai landasan pengenaan PPh terhadap OTT asing. “Jadi, tetapkan saja kebijakannya dan ditegakkan. Masalah ini sederhana sekali sebenarnya, jangan dibuat rumit,” kata Heru.

Dihubungi terpisah, Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji menjelaskan bahwa posisi AS sangat kuat dalam memengaruhi kebijakan negara lain. Dalam kasus digital service tax (DST) Prancis, AS berhasil membuat Prancis membatalkan penerapan DST sebesar 3%.

Berpijak dengan kasus tersebut, Pemerintah Indonesia seharusnya bisa menyiasatinya dengan menyusun skema pemajakan yang tidak diskriminatif. Skema DST umumnya didesain untuk menyasar perusahaan digital yang memiliki peredaran bruto, baik secara global dan domestik di atas nilai tertentu.

Persoalannya, penetapan nilai ambang batas (threshold) peredaran bruto umumnya merujuk kepada angka 750 juta Euro, yaitu threshold yang diajukan dalam rancangan DST Uni Eropa maupun threshold dalam kewajiban dokumentasi laporan per negara.

Penetapan threshold ini memberi kesan DST hanya akan diterapkan bagi sedikit perusahaan digital dan mayoritas berasal dari AS.

Sementara itu Direktur Eksekutif MUC Tax Reasearch Institute Wahyu Nuryanto mengatakan salah satu aspek yang perlu dipahani dalam pengenaan pajak digital di Indonesia adalah PPN sebagaimana diatur dalam PMK No.48/PMK.03/2020.

Menurut dia, pemerintah sebenarnya hanya tinggal mengkomunikasikan kepada Pemerintah AS bahwa kebijakan tersebut tidak memunculkan jenis pajak baru.

Konsep pengenaan PPN atas transaksi lewat PMSE sama sekali berbeda dengan konsep DST, pajak transaksi elektronik atau jenis pajak digital yang telah diterapkan di beberapa negara. Namun kasus ini akan berbeda jika terkait dengan PPh badan atau pajak transaksi elektronik yang secara spesifik telah diatur dalam UU No.2/2020.