POTRET PAJAK 2022 Aral & Akselerasi Daya Pungut Konsumsi

30 January 2023

Tegar Arief
Kamis, 26/01/2023

Bisnis – Setelah berjibaku mengarungi gelombang pasang pandemi selama hampir 3 tahun terakhir, bahtera konsumsi rumah tangga akhirnya berhasil sandar di pantai berombak tenang. Kondisi ini pun membawa hawa sejuk pada perekonomian nasional.

Konsumsi yang pulih memiliki efek cukup besar pada postur fiskal, yakni setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan kemampuan pemerintah dalam memungut potensi pajak.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mencatat, konsumsi rumah tangga pada 2022 tumbuh sebesar 5%, setara dengan level prapandemi Covid-19.

Dengan asumsi itu, maka pengeluaran konsumsi rumah tangga pada 2022 mencapai Rp9.697,8 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan 2021 senilai Rp9.236 triliun.

Adapun, realisasi penerimaan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pada 2022 di angka Rp687,59 triliun, naik 24,79% dibandingkan dengan warsa sebelumnya.

Berkaca pada data tersebut dan dengan asumsi tarif PPN sebesar 10% berlaku sepanjang 2022, maka kemampuan pemerintah dalam memungut PPN yang tecermin dalam value added tax (VAT) gross collection ratio 70,90%.

Adapun, apabila menggunakan asumsi tarif PPN 11% berlaku sepanjang tahun lalu, maka VAT gross collection ratio di angka 64,45%.

Kedua asumsi tarif ini dijadikan tolok ukur mengingat adanya perubahan rezim perpajakan pada tahun lalu.

Mengacu pada UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPN naik dari 10% menjadi 11% per 1 April 2022. Artinya, pada 2022 rezim PPN berada dalam fase transisi tarif.

Kendati menggunakan asumsi tarif yang berbeda, capaian VAT gross collection ratio pun tebilang ciamik. Kemungkinan terburuk VAT gross collection ratio ada 2022 akan menyamai realisasi 2018 di kisaran 64%.

Hal ini pun mengonfirmasi bahwa konsumsi masyarakat sepenuhnya telah membaik meski dihadapkan pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan inflasi.

“Tingkat konsumsi rumah tangga sudah kembali ke prapandemi yakni tumbuh 5%,” kata Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Kementerian Keuangan Rahadian Zulfadin, Rabu (25/1).

VAT gross collection ratio merupakan indikator paling akurat mengukur kemampuan pemerintah dalam mengoptimalisasi pungutan pajak atas konsumsi.

VAT gross collection ratio di angka 70% dapat dimaknai bahwa pemerintah berhasil memungut 70% dari total potensi pajak yang ada.

Sementara itu, dalam sistem pajak di Indonesia, VAT gross collection ratio jampir mustahil berada pada posisi 100% mengingat pemerintah masih menyediakan fasilitas pembebasan atau pengecualian.

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan melesatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada didorong oleh makin mahalnya harga jual barang di pasaran.

Sejalan dengan naiknya harga sejumlah barang, terutama komoditas pangan, maka konsumsi rumah tangga meningkat dan potensi pajak atas barang dan jasa pun terkatrol.

PANGKAS FASILITAS

Menurutnya, pemerintah masih memiliki peluang untuk memacu VAT gross collection ratio, salah satunya memangkas fasilitas pembebasan atau pengecualian pajak.

“Juga menurunakan besaran PKP , sehingga makin banyak akivitas ekonomi yang masuk ke dalam sistem PPN, dan otomatis VAT gross collection ratio naik,” jelasnya.

Saat ini, batas PKP yang diterapkan oleh pemerintah cukup tinggi, yakni Rp4,8 miliar per tahun.

Menurutnya, rezim PPN saat ini berisiko menggerus daya pungut pemerintah. Idealnya, PPN lebih netral yakni ketika terjadi kenaikan tarif tidak mengubah VAT gross collection ratio.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institue Prianto Budi Saptono mengatakan adanya fasilitas pembebasan tidak hanya membatasi potensi penerimaan, juga daya pungut negara atas pajak konsumsi.

Hal inilah yang kemudian memunculkan ketidaklinieran antara tingkat konsumsi rumah tangga dengan penerimaan negara. “Meskipun konsumsi rumah tangga meningkat, PPN tidak meningkat secara paralel karena masih ada konsumsi masyarakat yang PPN-nya dibebaskan,” jelasnya

Fasilitas pembebasan, pengecualian, maupun PPN tidak dipungut memang acap dikritik oleh banyak kalangan. Selain memengaruhi daya pungut, kebijakan ini juga berisiko tidak tepat sasaran.

World Bank dalam laporan berjudul Indonesia Economic Prospects: Trade for Growth and Economic Transformation Desember 2022, menyarankan pemerintah untuk mengubah skema insentif PPN.

Menurut lembaga itu, fasilitas dalam bentuk pembebasan ataupun PPN tidak dipungut kurang memiliki efek pada perekonomian. Musababnya, skema dengan memberikan insentif pada barang atau jasa tertentu menyulitkan aspek pengawasan sehingga bisa diakses oleh seluruh kelas masyarakat.

World Bank menyarankan Indonesia untuk menghapus fasilitas tersebut dan mengalihkannya pada program bantuan langsung tunai yang lebih efektif menguatkan daya beli dan mendorong laju konsumsi rumah tangga.

Jika dicermati, laporan World Bank itu memang cukup masuk akal. Apalagi, PPN selama ini memang menjadi jenis pajak yang paling boros menggerogoti belanja perpajakan nasional.

Editor : Tegar Arief